1. Kasus
Malpraktik dalam bidang Orthopedy
Gas
Medik yang Tertukar
Seorang pasien menjalani suatu
pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana layaknya, sebelum pembedahan
dilakukan anastesi terlebi dahulu. Pembiusan dilakukan oleh dokter anastesi,
sedangkan operasi dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (orthopedy).
Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas. Bahkan setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan hingga tak sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di perawatan intensif dengan bantuan mesin pernapasan (ventilator). Tentu kejadian ini sangat mengherankan. Pasalnya, sebelum dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah tulangnnya.
Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas anastesi (N2O) yang dipasang pada mesin anastesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses oksigenasi menjadi sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal. Ini sebuah fakta penyimpangan sederhana namun berakibat fatal.
Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas. Bahkan setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan hingga tak sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di perawatan intensif dengan bantuan mesin pernapasan (ventilator). Tentu kejadian ini sangat mengherankan. Pasalnya, sebelum dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah tulangnnya.
Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas anastesi (N2O) yang dipasang pada mesin anastesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses oksigenasi menjadi sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal. Ini sebuah fakta penyimpangan sederhana namun berakibat fatal.
Dengan kata lain ada sebuah kegagalan dalam proses penetapan
gas anastesi. Dan ternyata, di rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar
pengamanan pemakaian gas yang dipasang di mesin anastesi. Padahal seharusnya
ada standar, siapa yang harus memasang, bagaimana caranya, bagaimana monitoringnya,
dan lain sebagainya. Idealnya dan sudah menjadi keharusan bahwa perlu ada
sebuah standar yang tertulis (misalnya warna tabung gas yang berbeda), jelas,
dengan formulir yang memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan
ditandatangani. Seandainya prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil
kemungkinan terjadi kekeliruan. Dan kalaupun terjadi akan cepat diketahui siapa
yang bertanggung jawab.
Tinjauan Kasus
Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum
a.
Tinjauan Malpraktik Pidana dan
Sanksi Hukumnya
Kasus tersebut merupakan bentuk malpraktik pidana
sebab telah melanggar beberapa aturan dalam KUHP untuk kelalaian yang berlaku
bagi setiap orang, yang diatur dalam Pasal 359, 360, dan 361 KUHP
Dalam Kitab-Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya
nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.
Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan
terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
(1) ‘Barang siapa karena kealpaannya
menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun’.
(2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain
luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau
denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
Pemberatan sanksi pidana juga dapat
diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal
361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), “Jika kejahatan yang diterangkan
dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka
pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat
memerintahkan supaya putusannya diumumkan.” Namun, apabila kelalaian dokter
tersebut terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya
keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak
menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat dilakukan.
Jika perbuatan malpraktik yang
dilakukan dokter terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan (dolus) dan
ataupun kelalaian (culpa) seperti dalam kasus malpraktek dalam bidang orthopedy
tersebut, maka adalah hal yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan
dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah
melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang.
Perbuatan tersebut telah nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu
profesi yang mulia.
Pekerjaan
profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus sangat berhati-hati
untuk mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan tugas-tugasnya karena
sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tuduhan malpraktik bukan hanya
ditujukan terhadap tindakan kesengajaan (dolus) saja.Tetapi juga akibat
kelalaian (culpa) dalam menggunakan keahlian, sehingga mengakibatkan kerugian,
mencelakakan, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Selanjutnya, jika
kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik yang tidak memenuhi
SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi
pidana.
b.
Tinjauan Malpraktik Perdata dan
sanksi Hukumnya
Kasus di
atas juga dapat dikategorikan sebagai malpraktik perdata ketika
Seorang dokter orthopedy yang telah terbukti melakukan kelalaian sehingga
pasiennya menderita luka atau mati. Tindakan malpraktik tersebut juga dapat berimplikasi pada
gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja
(dolus) telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan
pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami
kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Seorang
dokter yang telah terbukti melakukan kelalaian sehingga pasiennya menderita
luka atau mati, dapat digugat secara perdata berdasarkan Pasal 1366 atau 1370
KUH Perdata
Pasal 1366 KUH Perdata
Kerugian
yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi: “Setiap
orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena perbuatannya,
tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang
hati-hatinya.”
Pasal 1370 KUH Perdata
Dalam hal pembunuhan (menyebabkan
matinya orang lain) dengan sengaja atau kurang hati-hati seseorang, maka suami
dan istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua yang biasanya mendapat nafkah
dari pekerjaan korban, mempunyai hak untuk menuntut suatu ganti rugi, yang
harus dinilai menurut kedudukannya dan kekayaan kedua belah pihak serta menurut
keadaan.
Undang-undang No. 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan :
Menurut Pasal Undang-undang
tersebut diatas :
Ayat (1)
Setiap orang berhak atas ganti rugi
akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan
Ayat (2)
Ganti rugi yang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku
Penjelasan
Ayat (1)
Pemberian hak atas ganti rugi
merupakan suatu upaya untuk memberi perlindungan bagi setiap orang atas suatu
akibat yang timbul, baik fisik maupun nonfisik karena kesalahan atau kelalaian
tenaga kesehatan. Perlindungan ini sangat penting karena akibat kesalahan atau
kelalaian itu mungkin dapat menyebabkan kematian atau menimbulkan cacat dan
permanen
Yang dimaksud dengan kerugian fisik
adalah hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh,
sedangkan kerugian nonfisik berkaitan dengan martabat seseorang
Ayat (2)
Cukup jelas
c. Tinjauan
Malpraktik Etik dan Sanksinya
Etika
punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang
berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian
formal tentang moralitas. Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan
moral adalah sitem tentang motifasi, perilaku dan perbuatan manusia yang
dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang
mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat
fundamental: bagaimana saya harus hidup dan bertindak?. Bagi seorang sosiolog,
etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu.
Bagi praktisi professional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya, etika
berarti kewajiban dan tanggungjawab memenuhi harapan profesi dan masyarakat,
serta bertindak dengan cara-cara yang professional, etika adalah salah satu
kaidah yang menjaga terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima jasa
profesi secara wajar, jujur, adil, professional dan terhormat.
Selain
melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, ditinjau dari Sudut Pandang
Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI), tindakan tersebut juga dapat
menjadi bentuk malpraktik etik karena dokter tersebut tidak melaksanakan
profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi.
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “ seorang dokter
harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi
tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan
kedokterannya seebagai seorang proesional harus sesuai dengan ilmu kedokteran
mutakhir, hukum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap
dokter hrus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya
dalam setiap tindakan dokter harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan
kebahagiaan manusia.
Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI)
sangatlah perlu ditingkatkan untuk menghindari terjadinya
pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering terjadi yang dilakukan oleh setiap
kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat/pengacara, notaris,
akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk
memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik.
Dalam hal ini Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti
melanggar kode etik maka dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi
sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Karena itu
seperti kasus yang ditampilkan maka juga harus dikenakan sanksi sebagaimana
yang diatur dalam kode etik.
Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar
pelanggaran kode etik tetapi juga dapat dikategorikan malpraktik maka MKEK
tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk memeriksa dan memutus kasus
tersebut. Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum
hanyalah lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan. Jika ternyata
terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan
pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata. Sudah saatnya pihak
berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan
malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi
masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan
keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para
dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya.
2. Contoh
Kasus
Kasus Prita VS RS OMNI International
Jakarta – Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia
lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat
berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international
karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba
pasien, penjualan obat, dan suntikan.
Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya
mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus
2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang
ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard
International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang
bagus.
Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39
derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit
saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan
ditangani oleh dr Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I
melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya
dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.
dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya
meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu
referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan
saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.
Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau
izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr
H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan
27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H
terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam
suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.
Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama
dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir
karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih
berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya
percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.
Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap
suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya
meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan
suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu
boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.
Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan
suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya
dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39
derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa.
Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.
Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk
memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya
sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan
berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam
berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan
kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.
Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang
sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun
hanya berkata menunggu dr H saja.
Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya
pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa
untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.
Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun,
janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya
menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang
27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup
saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher
kiri dan mata kiri.
dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah
mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan
menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan
meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang
seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak
bisa memberikan keterangan yang memuaskan.
Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai
membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau
dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data
medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis
yang fiktif.
Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya
lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada
follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil
thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.
Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat
dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak
adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan
marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut
ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen
yang memegang hasil lab tersebut.
Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh
Og(Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda
terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar
dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya
sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda
terima pengajuan komplain tertulis.
Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen. Atas
nama Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan
diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan
saya.
Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan
dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000.
Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit
181.000 saya masih bisa rawat jalan.
Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya
ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia
mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan
ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak
bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji
akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.
Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya
dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut analisa
ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena
sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan
perempuan ke pankreas dan kista.
Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah
membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan
suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya
tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak
kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.
Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000
tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta
diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya
tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari
Omni memberikan surat tersebut.
Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan
keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4
sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali
saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima
atas nama Rukiah.
Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya
tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari
datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam tanda
terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut
Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang
mempermainkan nyawa orang.
Terutama dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan
customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini cantum.
Saya bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut
dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan
pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami.
Pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami
dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan
dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi
kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.
Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya
ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja
supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.
Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah
hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat
inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak
makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.
Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan
asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal
mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.
Sdr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr
B). Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan
kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.
Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang
selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas
dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup
untuk menyembuhkan.
Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya
masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS
yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.
Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni
supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua
yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak
terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.
Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan
atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr M, dan
Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan
Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan
RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.
Salam,
Prita Mulyasari
Prita Mulyasari
Alam Sutera
081513100600
Tinjauan Kasus dalam Hal Malraktik
Administratif
Melihat kasus tersebut, dapat ditemukan sebuah contoh malpraktik
administrasi berupa pelanggaran dalam rekam medis. Dalam PERMENKES No. 749a/Menkes/XII/89 tentang RM disebutkan pengertian
RM adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada
sarana pelayanan kesehatan.
Pasal 14 Permenkes no. 749a/1989 tentang tujuan dan fungsi rekam medis
yaitu sebagai dasar pelayanan kesehatan dan pengobatan, pembuktian hukum,
penelitian dan pendidikan, dasar pembiayaan pelayanan kesehatan, dan statistic
kesehatan. Maka rekam medis harus dibuat relevan, kronologis dan orisinil. Data
yang diberikan haruslah berupa data yang sebenarnya dan bukan karangan semata.
Dalam kasus di atas telah terjadi pemalsuan data tentang kondisi pasien sesuai
dengan pengakuan dari pasien atau si penderita yang menyebutkan bahwa “Dalam
catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar
padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow
up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya
yang 181.000 bukan 27.000.” hal ini dinilai telah melanggar hukum adminitrasi,
karena data yang dilaporkan dalam rekam medis pasien adalah fiktif dan tidak
sesuai dengan kenyataannya, bersamaan dengan itu juga tenaga perawatan dinilai
telah lalai dari kewajibannya dalam menyediakan rekam medis pasien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar