Selasa, 16 Februari 2016

MAKALAH KETULIAN MENETAP AKIBAT KEBISINGAN



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Setiap pekerjaan di dunia ini hampir pasti tak ada yang tak berisiko. Ibarat pepatah bermain air basah, bermain api hangus. Kecelakaan dan sakit akibat kerja sudah menjadi risiko setiap orang yang melakukan pekerjaan, baik itu petani, nelayan, buruh pabrik, pekerja tambang, maupun pegawai kantoran sekalipun.
Ratusan juta tenaga kerja diseluruh dunia saat bekerja pada kondisi yang tidak nyaman dan dapat mengakibatkan gangguan kesehatan. Menurut International Labor Organization (ILO) setiap tahun terjadi 1,1 juta kematian yang disebabkan oleh pekerjaan. Sekitar 300.000 kematian terjadi dari 250 juta kecelakaan dan sisanya adalah kematian karena penyakit akibat kerja dimana diperkirakan terjadi 160 juta penyakit akibat hubungan pekerjaan baru setiap tahunnya.
Sepanjang tahun 2009, pemerintah mencatat telah terjadi sebanyak 54.398 kasus kecelakaan kerja di Indonesia. Meski menunjukkan tren menurun, namun angka tersebut masih tergolong tinggi. Kecelakaan kerja di sebuah pabrik gula di Jawa Tengah menyebabkan empat pekerjanya tewas dan di Tuban Jawa Timur seorang meninggal dan dua orang lainnya terluka akibat tersiram serbuk panas saat bekerja di salah satu pabrik semen adalah beberapa contoh kasus kecelakaan kerja yang mengakibatkan kerugian bahkan sampai menghilangkan nyawa.
Kerugian akibat kecelakaan kerja tidak hanya dirasakan oleh tenaga kerja itu sendiri, namun juga bisa berdampak pada masyarakat sekitar. Oleh karena itu perlu adanya penerapan sebuah sistem manajemen keselamatan dan kesehatan Kerja (SMK3) di tempat kerja berbasis paradigma sehat.

Hal itu menjadi kebutuhan yang mendesak mengingat jumlah tenaga kerja di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 104,49 juta, bekerja di sektor formal sebesar 30,51 % sedangkan 69,49 % bekerja di sektor informal, dengan distribusi sebesar 41,18% bekerja di bidang pertanian, industri 12,07%; perdagangan sebesar 20,90%; transportasi, pergudangan dan komunikasi sebesar 5,69%; konstruksi sebesar 4,42%, jasa dan keuangan 14,44%; serta pertambangan, listrik dan gas 1,3% (Berita Resmi Statistik 2009). Dari data tahun 2007 diketahui kecelakaan kerja terbanyak terjadi pada tenaga kerja konstruksi dan industri masing-masing 31,9 % dan 31,6 %.
Bising dalam kesehatan kerja, diartikan sebagai suara yang dapat menurunkan pendengaran baik secara kwantitatif (peningkatan ambang pendengaran) maupun secara kwalitatif (penyempitan spectrum pendengaran), berkaitan dengan factor intensitas, frekuensi, durasi dan pola waktu.
Kurang pendengaran akibat bising terjadi secara perlahan, dalam waktu hitungan bulan sampai tahun. Hal ini sering tidak disadari oleh penderitanya, sehingga pada saat penderita mulai mengeluh kurang pendengaran, biasanya sudah dalam stadium yang tidak dapat disembuhkan (irreversibe). Kondisi seperti ini akan mempengaruhi produktivitas tenaga kerja yang pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya derajat kesehatan masyarakat pekerja. Hal ini maka cara yang paling memungkinkan adalah mencegah terjadinya ketulian total (Ballantyne, 1990; Beaglehole, 1993).
Menurut para peneliti, tingkat kebisingan yang mencapai lebih dari 110 desibel (dB) bisa disetarakan dengan tingkat suara mesin pesawat. Penelitian Martine Hamann, penulis dan peneliti di University of Leicester, yang diterbitkan dalam Proceeding National Academy of Sciences, ini merupakan penelitian pertama yang membuktikan bagaimana suara menyebabkan kerusakan sel. ”Selubung myelin adalah lapisan pada sel saraf yang membawa sinyal listrik dari telinga ke otak dan membantu sinyal listrik merambat sepanjang sel saraf,” papar Hamann.
Menurut Hamann, paparan suara keras melebihi 100 dB dapat menghentikan sinyal listrik dan tidak memungkinkan informasi bisa dikirim dari telinga ke otak. Untungnya, selubung mampu memperbarui lapisannya dan memungkinkan sel untuk berfungsi normal kembali. Karena itu, gangguan pendengaran kadang-kadang hanya bersifat sementara.
Gangguan pendengaran akibat bising adalah tuli akibat terpapar bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama. Tuli ini merupakan jenis ketulian sensorineural yang paling banyak ditemui setelah presbiakusis. Sejalan dengan berkembangnya gaya hidup masyarakat, kejadian kehilangan pendengaran semakin banyak ditemukan. Selain paparan suara bising, ada banyak faktor lain yang menyebankan gangguan pendengaran seperti hipertensi, diabetes, obat-obatan, dan paparan substansi yang dapat merusak telinga merupakan penyebab dari berkurangnya pendengaran (Burkey, 2006). Lagi-lagi gaya hidup mempengaruhi berkembangnya keadaan-keadaan tersebut.
Bising lingkungan kerja merupakan masalah utama pada kesehatan kerja di berbagai negara. Sedikitnya 7 juta orang (35% dari populasi industri di Amerika dan Eropa) terpajan bising 85 dB atau lebih (Soetjipto, 2007). Di indonesia penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising telah banyak dilakukan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Sundari (1994) yang menemukan 31,55% pekerja pabrik peleburan besi di Jakarta menderita tuli akibat bising dengan intensitas bising antara 85-105 dB, dengan masa kerja rata-rata 8,99 tahun (Soetjipto, 2007). Penelitian lain dilakukan oleh Lusianawaty (1998) yang menemukan bahwa 7 dari 22 pekerja (31,8%) di perusahaan kayu lapis Jawa Barat mengalami tuli akibat bising dengan intensitas bising lingkungan antara 84,9-108,2 dB (Soetjipto, 2007). Penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising ini tidak hanya dilakukan di tempat kerja, tetapi juga di lingkungan, seperti yang dilakukan oleh Hendarmin dan Hadjar tahun 1971, mendapatkan bising jalan raya (jl. M.H Thamrin, Jakarta) sebesar 95 dB lebih pada jam sibuk (Soetjipto, 2007).

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.      Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ketulian akibat bising?
2.      Bagaimana gejala-gejala dari ketulian menetap?
3.      Bagaimana patofisiologi terjadinya ketulian menetap?
4.      Bagaimana pencegahan ketulian akibat bising?
5.      Bagaimana bentuk pengendalian kebisingan di tempat kerja?

1.3  Tujuan
Adapun tujuan yang dapat diambil dari rumusan masalah diatas adalah:
1.      Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ketulian akibat bising
2.      Untuk mengetahui gejala-gejala dari ketulian menetap.
3.      Untuk mengetahui patofisiologi ketulian menetap.
4.      Untuk mengetahui pencegahan ketulian akibat bising.
5.      Untuk mengetahui bentuk pengendalian kebisingan di tempat kerja.

1.4  Manfaat
Adapun manfaat dari pembuatan makalah ini agar kita dapat mengetahui dan memahami masalah dan dampak kebisingan terhadap kerusakan pendengaran khususnya ketulian menetap.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum tentang PAK dan PAHK
Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian Penyakit Akibat Kerja merupakan penyakit yang artifisial atau man made disease. Upaya Kesehatan Kerja adalah upaya penyerasian antara kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat di sekelilingnya, agar diperoleh produktivitas kerja yang optimal (UU Kesehatan Tahun 1992 Pasal 23).
Sedangkan Penyakit Akibat Hubungan Kerja (PAHK) adalah penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab, dimana factor pada pekerjaan memegang peranan bersama dengan factor resiko lainnya dalam berkembangnya penyakit yang mempunyai etiologi yang kompleks.
Diagnosa atau identifikasi suatu penyakit akibat hubungan kerja yang terjadi pada suatu populasi pekerja dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan epidemologis dan pendekatan klinis.
a.         Pendekatan Epidemiologis
Pendekatan ini terutama digunakan apabila ditemukan adanya gangguan kesehatan atau keluhan pada sekelompok pekerja. Pendekatan ini perlu untuk mengidentifikasi adanya hubungan kausal antar suatu pajanan dengan penyakit.
b.        Pendekatan Klinis (individual)
Pendekatan ini perlu dilakukan untuk menentukan apakah seseorang menderita penyakit yang diakibatkan oleh pekerjaannya atau tidak. langkah-langkah yang harus dilakukan adalah:

1.      menentukan diagnosis klinis
2.      menentukan pajanan yang dialami individu tersebut dalam pekerjaan
3.      menentukan apakah ada hubungan antara pajanan dengan penyakit
4.      menentukan apakah pajanan cukup besar
5.      menentukan apakah ada factor-faktor individu yang berperan
6.      menentukan apakah ada factor lain diluar pekerjaan
7.      menentukan diagnosis penyakit akibat hubungan kerja.
2.2 Tinjauan Umum tentang Kebisingan
Kebisingan didefinisikan sebagai suara yang tidak dikehendaki, misalnya yang merintangi terdengarnya suara-suara, music, dsb, atau yang menyebabkan rasa sakit atau yang menghalangi gaya hidup (JIS Z 8106 [IEC60050-801] kosa kata elektro-teknik Internasional Bab 801: Akustikal dan elektroakustik)".
Kebisingan yaitu bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan (KepMenLH No.48 Tahun 1996) atau semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (KepMenNaker No.51 Tahun 1999), jadi dapat disimpulkan bahwa kebisingan bunyi atau suara yang tidak dikehendaki dan dapat mengganggu kesehatan, kenyamanan serta dapat menimbulkan ketulian.
Menurut Suma’mur (1986), jenis-jenis kebisingan yang sering ditemukan adalah:
1.                  Bising terus menerus (continuous noise)
Bising terus menerus dihasilkan oleh mesin yang beroperasi tanpa henti, misalnya blower, pompa, kipas angin, gergaji sirkuler, dapur pijar, dan peralatan pemprosesan (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
2.        Bising terputus-putus (intermittent noise)
Adalah kebisingan saat tingkat kebisingan naik dan turun dengan cepat, seperti lalu lintas dan suara kapal terbang di lapangan udara (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
Bising jenis ini sering disebut juga intermittent noise, yaitu bising yang berlangsung secar tidak terus-menerus, melainkan ada periode relatif tenang, misalnya lalu lintas, kendaraan, kapal terbang, kereta api (Prabu,Putra, 2009).
3.        Bising tiba-tiba (impulsive noise)
Merupakan kebisingan dengan kejadian yang singkat dan tiba-tiba. Efek awalnya menyebabkan gangguan yang lebih besar, seperti akibat ledakan, misalnya dari mesin pemancang, pukulan, tembakan bedil atau meriam, ledakan dan dari suara tembakan senjata api (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003). Bising jenis ini memiliki perubahan intensitas suara melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya seperti suara tembakan suara ledakan mercon, meriam (Prabu,Putra, 2009).
4.        Bising berpola (tones in noise)
Merupakan bising yang disebabkan oleh ketidakseimbangan atau pengulangan yang ditransmisikan melalui permukaan ke udara. Pola gangguan misalnya disebabkan oleh putaran bagian mesin seperti motor, kipas, dan pompa. Pola dapat diidentifikasi secara subjektif dengan mendengarkan atau secara objektif dengan analisis frekuensi (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
5.        Bising frekuensi rendah (low frequency noise)
Bising ini memiliki energi akustik yang penting dalam range frekuensi 8-100 Hz. Bising jenis ini biasanya dihasilkan oleh mesin diesel besar di kereta api, kapal dan pabrik, dimana bising jenis ini sukar ditutupi dan menyebar dengan mudah ke segala arah dan dapat didengar sejauh bermil-mil (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
6.        Bising impulsif berulang
Sama dengan bising impulsif, hanya bising ini terjadi berulang-ulang, misalnya mesin tempa (Prabu,Putra, 2009).

2.3  Tinjauan Umum tentang Ketulian
Ketulian atau penurunan daya dengar dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu:
a.         Trauma Akustik
Trauma akustik adalah efek dari pemaparan yang singkat terhadap suara yang keras seperti sebuah letusan. Dalam kasus ini energi yang masuk ke telinga dapat mencapai struktur telinga dalam dan bila melampaui batas fisiologis dapat menyebabkan rusaknya membran thympani, putusnya rantai tulang pendengaran atau rusak organ spirale (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
Trauma akustik adalah setiap perlukaan yamg merusak sebagian atau seluruh alat pendengaran yang disebabkan oleh pengaruh pajanan tunggal atau beberapa pajanan dari bising dengan intensitas yang sangat tinggi, ledakan-ledakan atau suara yang sangat keras, seperti suara ledakan meriam yang dapat memecahkan gendang telinga, merusakkan tulang pendengaran atau saraf sensoris pendengaran (Prabu,Putra, 2009).
b.        Temporary Threshold Shift (TTS)/Tuli Sementara
Tuli sementara merupakan efek jangka pendek dari pemaparan bising berupa kenaikan ambang pendengaran sementara yang kemudian setelah berakhirnya pemaparan bising, akan kembali pada kondisi semula. TTS adalah kelelahan fungsi pada reseptor pendengaran yang disebabkan oleh energi suara dengan tetap dan tidak melampui batas tertentu. Maka apabila akhir pemaparan dapat terjadi pemulihan yang sempurna. Akan tetapi jika kelelahan melampaui batas tertentu dan pemaparan terus berlangsung setiap hari, maka TTS secara berlahan-lahan akan berubah menjadi PTS (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
TTS diakibatkan pemaparan terhadap bising dengan intensitas tinggi. Seseorang akan mengalami penurunan daya dengar yang sifatnya sementara dan biasanya waktu pemaparan terlalu singkat. Apabila tenaga kerja diberikan waktu istirahat secara cukup, daya dengarnya akan pulih kembali (Prabu,Putra, 2009).
c.         Permanent Threshold Shift (PTS)/Tuli Permanen
Tuli permanen adalah kenaikan ambang pendengaran yang bersifat irreversible sehingga tidak mungkin tejadi pemulihan. Gangguan dapat terjadi pada syaraf-syaraf pendengaran, alat-alat korti atau dalam otak sendiri. Ini dapat diakibatkan oleh efek kumulatif paparan terhadap bising yang berulang-ulang selama bertahun (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
Tuli permanen adalah terjadinya kerusakan pendengaran yang sudah tidak dapat pulih atau disembuhkan kembali. Selain terjadi secara alami yang disebabkan oleh faktor usia, penurunan pendengaran juga akan terjadi apabila terus-menerus terpapar pada intensitas kebisingan yang tinggi. Tuli sementara setelah terpapar bising, dan kemungkinan terjadinya Tinitus, biasanya merupakan tanda-tanda terjadinya kerusakan pendengaran.
Tinitus bisa disebabkan oleh berbagai sumber bising bahkan dari musik yang sangat keras, biasanya berlangsung selama beberapa menit atau jam setelah terpapar bising yang tinggi dan akan hilang setelah berada jauh dari tempat yang bising. Oleh karenanya hal ini sering diabaikan dan lebih parah lagi biasanya dianggap sebagai bagian dari pekerjaannya.
Kerusakan telinga permanen hampir selalu dimulai dengan menurunnya sensitivitas pendengaran pada frekuensi 4.000 Hz dan jika terus-menerus terpapar bising maka akan secara bertahap turun pada frekuensi yang lebih rendah.
Hasil study Kryter dan Ward menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara ketulian temporer dan ketulian permanen. Beberapa kesimpulan yang bisa dijadikan pedoman adalah sebagai berikut :
  1. Kebisingan yang mencapai 80 tau 90 dB hanya menyebabkan sedikit penaikan ambang dengar yaitu 5 atau 10 dB. Namun jika kebisingan meningkat hingga 100 dB, ambang dengar akan naik antara 50 sampai 60 dB.
  2. Penaikan secara temporer pada ambang pendengaran adalah sesuai dengan durasi bising. Sebagai contoh kebisingan 100 dB selama 10 menit akan menghasilkan penaikan sebesar 16 dB, dan setelah 100 menit meningkat menjadi 32 dB.
  3. Lamanya waktu yang dibutuhkan pendengaran untuk kembali ke normal juga sesuai dengan intensitas dan durasi bising. Waktu pemulihan adalah sekitar 10 % lebih lama dibandingkan durasi bising.
  4. Pergantian periode paparan bising dengan yang lebih tenang akan mengurangi resiko ketulian sementara.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1  Faktor-faktor yang mempengaruhi ketulian akibat bising
Sebenarnya ketulian dapat disebabkan oleh pekerjaan, misalnya akibat kebisingan, trauma akustik, dapat pula disebabkan oleh bukan karena kerja (non-occupational hearing loss).
Tetapi tidak semua kebisingan dapat mengganggu para pekerja, hal tersebut tergantung dari beberapa factor, diantaranya:
1.        Intensitas suara yang terlalu tinggi.
Nada 1000 Hz dengan intensitas 85 dB, jika diperdengarkan selama 4 jam tidak akan membahayakan. Intensitas menunjukkan derajat kebisingan.
2.        Usia karyawan.
Orang yang berumur lebih dari 40 tahun akan lebih mudah tuli akibat bising (Depkes RI, 2003).
3.        Ketulian yang sudah ada sebelum bekerja.
4.        Tekanan dan frekuensi dari bising tersebut.
Bising dengan frekuensi tinggi lebih berbahaya daripada bising dengan frekuensi yang rendah.
5.        Lamanya bekerja.
Semakin lama berada dalam lingkungan yang bising, maka semakin berbahaya untuk pendengaran.
6.        Sifat bising.
Bising yang didengar secara terus-menurus lebih berbahaya dari  bising yang didengar secara terputus-putus.
7.        Jarak dari sumber suara.
8.        Waktu diluar lingkungan bising.
Waktu kerja dilingkungan bising diselingi dengan bekerja beberapa jam sehari dilingkungan yang tenang akan mengurangi bahaya mundurnya pendengaran.
Sedangkan berdasarkan karakteristik frekuensinya, sumber bising dapat dibedakan menjadi :
a.    Discrete Frequency Noise, contohnya: fan / blower, compressor, pump, internal combustion engine, transform, saw dan plannar.
b.    Broadband Noise, contohnya : steam leak, hammer mill, petrochemical plant, gas tumbine, jet engine dan gas fire-burner.
c.    Broadband and Discrete Frequency Noise, contohnya : wood saw (dalam keadaan idle).

3.2  Gejala-gejala dari ketulian menetap
Gejala-gejala ketulian akibat bising tetap menurut Parmeggiani (dikutip dalam Rozita E.,Wahyuni T, 2005) ada beberapa fase, diantaranya:
a.         Fase I
Terjadi pada 10-20 hari pertama pemaparan bising. Pada saat sudah bekerja, telinga penderita terasa penuh, mendenging, sakit kepala ringan, pusing, dan merasa lelah.
b.        Fase II
Terjadi pada jangka waktu pemaparan beberapa bulan sampai beberapa tahun. Pada fase ini semua gejala subjektif hilang, kecuali telinga yang mendenging secara intermitten. Gejala lain tergantung dari sifat bising, lama waktu pemaparan, dan prediposisi individual.
c.         Fase III
Terjadi sebagai lanjutan fase II. Pada kondisi ini penderita merasa pendengarannya tidak normal lagi. Penderita tidak dapat lagi mendengar pembicaraan-pembicaraan terutama jika terdapat bising latar belakang.
d.        Fase IV
Pada fase ini, diikuti oleh tinnitus yang tetap (terus menerus) yang menunjukan bahwa terjadi kerusakan pada struktur syaraf dari cochlea. Hal ini tidak hanya mengganggu pendengaran, tetapi juga mengganggu istirahat, tidur dan lain-lain.

3.3  Patofisiologi Ketulian menetap
Sistem pendengaran adalah sebuah sistem yang kompleks. Sistem ini bergantung pada beberapa sistem lain untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Fungsi pendengaran normal bergantung pada mekanisme mekanik pada telinga tengah dan koklea, mikromekanik dan seluler dari organon corti, keseimbangan kimiawi dan lingkungan bioelektris telinga dalam, dan sistem saraf pusat beserta saraf penghubungnya yang bekerja dengan baik (Arts, 1999).    
Sebagian besar paparan bising akan menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural sementara yang dapat pulih dalam 24 sampai 48 jam. Keadaan reversibel ini disebut sebagai kenaikan ambang dengar sementara atau Temporary Threshold Shift (TTS) (Arts, 1999). Apabila bising tersebut memiliki intensitas yang cukup tinggi atau waktu paparan yang cukup lama bahkan keduanya, maka akan terjadi kenaikan ambang dengar permanen, Permanent Threshold Shift (PTS) (Arts, 1999). Sedangkan trauma akustik adalah suatu paparan bising dalam tingkat yang berbahaya dimana akan mengakibatkan keadaan PTS tanpa melalui proses TTS dalam satu kali paparan (Arts, 1999).
Stadium dini dari tuli akibat paparan bising ditandai dengan kurva ambang pendengaran yang curam pada frekuensi diantara 3000 dan 6000 Hz, biasanya pertama kali muncul pada 4000 Hz. Pada fase dini ini penderita mungkin hanya mengeluh tinitus, suara yang teredam, rasa tidak nyaman di telinga, atau penurunan pendengaran yang temporer. Keluhan-keluhan ini dirasakan pada saat berada ditempat bising, atau sesaat setelah meninggalkan tempat bising. Keluhan kemudian akan berangsur menghilang setelah beberapa jam jauh dari lingkungan bising. Gangguan pendengaran biasanya tidak disadari sampai ambang pendengaran bunyi nada percakapan yaitu 500, 1000, 2000 dan 3000 Hz lebih dari 25 dB. Awal dan perkembangan tuli syaraf akibat bising lambat dan tidak jelas. Ketulian selalu bertipe sensorineural dan serupa baik kualitas maupun kuantitasnya pada kedua telinga. Secara otoskopik, membran timpani tampak normal (Fox, 1997).
Dobie, R.A (2001) dalam Head and Neck Surgery-Otolaryngology, menjelaskan bahwa GPAB mengakibatkan kerusakan pada organon corti. Didapatkan kesulitan dalam menemukan kelainan anatomis sehubungan dengan TTS, tetapi diyakini bahwa kelainan ini disebabkan oleh stereocilia dari sel rambut yang berkurang ketegangannya yang mengakibatkan turunnya respon terhadap rangsangan. Ketidakteraturan stereocilia ini dapat kembali normal dalam jangka waktu tertentu. Sejalan dengan meningkatnya intensitas dan durasi paparan bising, maka kerusakan akan semakin berat sampai akhirnya terjadi hilangnya stereocilia tersebut. Ketika stereocilia telah hilang, maka sel rambut sendiri akan mengalami kerusakan. Dengan bertambahnya paparan, maka sel rambut dan sel-sel pendukung dalam organon corti akan turut rusak. Selain itu juga dilaporkan adanya degenerasi syaraf pendengaran dan nukleus pendengaran.
Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa nada murni dengan frekuensi dan intensitas tinggi akan merusak struktur di ujung tengah basal (mid basal end) koklea dan frekuensi rendah akan merusak struktur dekat apeks koklea. Bising dengan spektrum lebar dan intensitas tinggi akan menyebabkan perubahan struktur di putaran basal pada daerah yang melayani nada 4000 Hz. Kerusakan ringan terdiri dari terputusnya dan degenerasi  sel-sel rambut luar dan sel-sel penunjangnya. Kerusakan yang lebih berat menunjukkan adanya degenerasi, baik sel rambut luar maupun sel rambut dalam dan atau hilangnya seluruh organon corti (Fox, 1997).
Beberapa teori telah diajukan mengenai mengapa daerah yang melayani frekuensi 4000 Hz lebih rentan terhadap pemaparan bising. Teori yang paling populer adalah bahwa struktur anatomi di daerah tersebut lebih lemah. Kelemahan struktur anatomi tersebut adalah sebagai akibat ketajaman pendengaran dan spektrum dari stimulus suara. Didapatkan bahwa ketulian yang paling dini terjadi pada sekitar satu sampai satu setengah oktaf diatas skala frekuensi nada stimulator. Karena ambang pendengaran lebih peka pada nada diantara 1000 dan 3000 Hz, beralasan untuk menduga bahwa bising industri, karena spektrumnya, akan menyebabkan kerusakan paling dini pada frekuensi antara 3000 sampai 4000 Hz (Fox, 1997).
Besarnya gangguan pendengaran yang didapat tidak hanya dipengaruhi oleh intensitas bising dan durasi paparan tetapi juga karakter dari bising tersebut (spektrum frekuensi dan pola waktu). Paparan terhadap nada murni atau bising dengan spektrum frekuensi yang sempit menyebabkan gangguan pendengaran terbesar. Gangguan pendengaran tersebut terjadi pada kira-kira satu setengah oktaf diatas frekuensi suara dengan energi terbesar. Alasan dibalik pergeseran satu setengah oktaf ini paling mungkin adalah dari jarak pergeseran maksimal membran basilar terhadap dasar koklea saat adanya peningkatan intensitas suara (Moller, 2006).

3.4   Pencegahan ketulian akibat bising
Sebelum kehilangan pendengaran, ada beberapa tanda yang bisa menjadi peringatan dini, diantaranya:
  1. Timbul suara berdengung (tinnitus) di telinga segera setelah terpapar kebisingan.
  2. Kesulitan untuk memahami pembicaraan. Seseorang bisa mendengar semua kata-kata yang diucapkan, tapi tidak dapat mengerti semuanya.
  3. Telinga seperti tertutup setelah terkena paparan suara.
Tujuan utama perlindungan terhadap pendengaran adalah untuk mencegah terjadinya ketulian yang disebabkan oleh kebisingan di lingkungan kerja. Tidak ada kata terlambat untuk mencegah kehilangan pendengaran akibat suara-suara bising. Mulailah mengistirahatkan telingan dengan cara:

1.        Sebisa mungkin mengecilkan volume suara yang didengar atau dihasilkan.
2.        Menghindari atau mengurangi batas waktu berada dalam tempat yang bising seperti konser musik rock atau klub malam.
3.        Usahakan untuk menggunakan pelindung pendengaran jika harus berada di lingkungan yang bising.
4.        Menghentikan sementara penggunaan headphone.
5.        Menghindari penggunaan headphone untuk meredam suara bising di luar seperti kereta atau lalu lintas.
6.        Gunakanlah volume yang pintar 'smart volume' dalam menggunakan MP3 player.
3.6 Bentuk pengendalian kebisingan ditempat kerja
Seperti halnya pada pengendalian faktor-faktor bahaya lain di tempat kerja, pengendalian kebisingan juga harus melalui urutan-urutan/hirarki (hierarchy of control) yang benar dan sesuai. Enam langkah/metode yang biasanya dijadikan pedoman dalam hirarki pengendalian adalah sebagai berikut :
1.        Rekayasa ulang (redesign) --- mesin atau proses.
2.        Penggantian (substitution) --- bahan atau proses.
3.        Isolasi (segregation/isolation) --- sumber bahaya dari pekerja.
4.        Pengendalian teknis (engineering control) --- pemeliharaan atau modifikasi mesin.
5.        Pengendalian secara administrasi (administrative control) --- modifikasi jadwal kerja.
6.        Alat pelindung diri (personal protective equipment) --- bagi para pekerja
Pengendalian kebisingan yang paling baik adalah dengan menghilangkan sumber suara darimana kebisingan tersebut berasal. Akan tetapi karena berbagai alasan biasanya langkah ini sangat sulit untuk dilakukan. Untuk itu dengan berpedoman pada enam langkah pengendalian di atas, kebisingan bisa dikendalikan melalui beberapa cara di bawah ini.
1.        Pengendalian pada sumbernya
a.         Dengan merekasaya ulang (redesign) proses atau penggantian alat; misalnya menggantian roller dengan conveyor belt, penggunaan mesin-mesin yang tidak membutuhkan kipas pendingin, atau panggantian pipa-pipa logam dengan yang dari plastik.
b.         Dengan mengganti bahan-bahan atau proses yang menghasilkan bising; misalnya pembelian bahan-bahan dengan ukuran yang sudah dipotong sebelumnya untuk menghilangkan proses pemotongan.
c.         Dengan modifikasi teknis pada alat-alat dan mesin-mesin yang sudah terpasang; misalnya pemasangan isolasi atau damping pada bagian yang bergetar, mengurangi jarak jatuh material, atau penggantian komponen-komponen logam dengan bahan-bahan yang lebih rendah emisi suaranya.
2.        Pengendalian pada jalan rambat kebisingan
a.         Pemisahan sumber bising dari pekerja; misalnya pemindahan ruang generator jauh dari tempat kerja.
b.         Isolasi peralatan yang bising di ruang kedap suara; misalnya pompa dan kompresor udara bisa ditempatkan di ruang dengan insulasi suara.
c.         Isolasi pekerja di ruang kedap suara; misalnya ruang operator mesin dengan remote-control panel.
d.        Modifikasi teknis pada peralatan atau bahan-bahan yang mengeluarkan bising; misalnya pemasangan penghalang kebisingan frekuensi tinggi, pembuatan alat-alat anti kebisingan atau pemasangan panel-panel penyerap kebisingan pada dinding atau atap ruangan.
3.        Pengendalian secara administrasi
Untuk mengurangi waktu pemaparan pekerja terhadap kebisingan; misalnya rotasi pekerjaan sehingga tidak ada pekerja yang terpapar kebisingan melebihi ambang batas.
Penggunaan alat pelindung diri (APD) untuk menghalangi rambatan kebisingan pada pekerja. Seperti :
1.      Sumbat telinga (ear plugs), dimasukkan dalam telinga sampai menutup rapat sehingga suara tidak mencapai membrane timpani. Sumbat telinga dapat mengurangi bising s/d 30 dB.
2.      Tutup telinga (ear muff), menutupi seluruh telinga eksternal dan dipergunakan untuk mengurangi bising s/d 40-50 dB.
3.      Helmet (enclosure), menutupi seluruh kepala dan digunakan untuk mengurangi bising maksimum 35dB.


BAB IV
PENUTUP

1.1    Kesimpulan
Bagi yang seringkali terpapar pada lingkungan kerja yang bising supaya lebih mematuhi norma-norma kesehatan kerja terutama yang berhubungan dengan masalah kebisingan. Hindari tempat-tempat dengan tingkat kebisingan tinggi dimanapun dan kapanpun bila memungkinkan. Dengan demikian akan terhindar dari resiko bahaya ‘noise-induced hearing loss’ atau gangguan kesehatan akibat terpapar kebisingan yang lain.

1.2    Saran
Kurang pendengaran akibat bising terjadi secara perlahan, dalam waktu hitungan bulan sampai tahun. Hal ini sering tidak disadari oleh penderitanya, sehingga pada saat penderita mulai mengeluh kurang pendengaran, biasanya sudah dalam stadium yang tidak dapat disembuhkan (irreversibe). Untuk itu diperlukan kesadaran dari setiap individu untuk menghindari intensitas pemaparan terhadap sumber kebisingan.


DAFTAR PUSTAKA