BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap
pekerjaan di dunia ini hampir pasti tak ada yang tak berisiko. Ibarat pepatah
bermain air basah, bermain api hangus. Kecelakaan dan sakit akibat kerja sudah
menjadi risiko setiap orang yang melakukan pekerjaan, baik itu petani, nelayan,
buruh pabrik, pekerja tambang, maupun pegawai kantoran sekalipun.
Ratusan
juta tenaga kerja diseluruh dunia saat bekerja pada kondisi yang tidak nyaman
dan dapat mengakibatkan gangguan kesehatan. Menurut International Labor Organization
(ILO) setiap tahun terjadi 1,1 juta kematian yang disebabkan oleh pekerjaan.
Sekitar 300.000 kematian terjadi dari 250 juta kecelakaan dan sisanya adalah
kematian karena penyakit akibat kerja dimana diperkirakan terjadi 160 juta
penyakit akibat hubungan pekerjaan baru setiap tahunnya.
Sepanjang
tahun 2009, pemerintah mencatat telah terjadi sebanyak 54.398 kasus kecelakaan
kerja di Indonesia. Meski menunjukkan tren menurun, namun angka tersebut masih
tergolong tinggi. Kecelakaan kerja di sebuah pabrik gula di Jawa Tengah
menyebabkan empat pekerjanya tewas dan di Tuban Jawa Timur seorang meninggal
dan dua orang lainnya terluka akibat tersiram serbuk panas saat bekerja di
salah satu pabrik semen adalah beberapa contoh kasus kecelakaan kerja yang
mengakibatkan kerugian bahkan sampai menghilangkan nyawa.
Kerugian
akibat kecelakaan kerja tidak hanya dirasakan oleh tenaga kerja itu sendiri,
namun juga bisa berdampak pada masyarakat sekitar. Oleh karena itu perlu adanya
penerapan sebuah sistem manajemen keselamatan dan kesehatan Kerja (SMK3) di
tempat kerja berbasis paradigma sehat.
Hal
itu menjadi kebutuhan yang mendesak mengingat jumlah tenaga kerja di Indonesia
pada tahun 2009 sebesar 104,49 juta, bekerja di sektor formal sebesar 30,51 %
sedangkan 69,49 % bekerja di sektor informal, dengan distribusi sebesar 41,18%
bekerja di bidang pertanian, industri 12,07%; perdagangan sebesar 20,90%;
transportasi, pergudangan dan komunikasi sebesar 5,69%; konstruksi sebesar
4,42%, jasa dan keuangan 14,44%; serta pertambangan, listrik dan gas 1,3%
(Berita Resmi Statistik 2009). Dari data tahun 2007 diketahui kecelakaan kerja
terbanyak terjadi pada tenaga kerja konstruksi dan industri masing-masing 31,9
% dan 31,6 %.
Bising
dalam kesehatan kerja, diartikan sebagai suara yang dapat menurunkan
pendengaran baik secara kwantitatif (peningkatan ambang pendengaran) maupun
secara kwalitatif (penyempitan spectrum pendengaran), berkaitan dengan factor
intensitas, frekuensi, durasi dan pola waktu.
Kurang
pendengaran akibat bising terjadi secara perlahan, dalam waktu hitungan bulan
sampai tahun. Hal ini sering tidak disadari oleh penderitanya, sehingga pada
saat penderita mulai mengeluh kurang pendengaran, biasanya sudah dalam stadium
yang tidak dapat disembuhkan (irreversibe). Kondisi seperti ini akan
mempengaruhi produktivitas tenaga kerja yang pada akhirnya akan menyebabkan
menurunnya derajat kesehatan masyarakat pekerja. Hal ini maka cara yang paling
memungkinkan adalah mencegah terjadinya ketulian total (Ballantyne, 1990;
Beaglehole, 1993).
Menurut
para peneliti, tingkat kebisingan yang mencapai lebih dari 110 desibel (dB)
bisa disetarakan dengan tingkat suara mesin pesawat. Penelitian Martine Hamann,
penulis dan peneliti di University of Leicester, yang diterbitkan dalam
Proceeding National Academy of Sciences, ini merupakan penelitian pertama yang
membuktikan bagaimana suara menyebabkan kerusakan sel. ”Selubung myelin adalah
lapisan pada sel saraf yang membawa sinyal listrik dari telinga ke otak dan
membantu sinyal listrik merambat sepanjang sel saraf,” papar Hamann.
Menurut
Hamann, paparan suara keras melebihi 100 dB dapat menghentikan sinyal listrik
dan tidak memungkinkan informasi bisa dikirim dari telinga ke otak. Untungnya,
selubung mampu memperbarui lapisannya dan memungkinkan sel untuk berfungsi
normal kembali. Karena itu, gangguan pendengaran kadang-kadang hanya bersifat
sementara.
Gangguan
pendengaran akibat bising adalah tuli akibat terpapar bising yang cukup keras
dalam jangka waktu yang cukup lama. Tuli ini merupakan jenis ketulian
sensorineural yang paling banyak ditemui setelah presbiakusis. Sejalan dengan
berkembangnya gaya hidup masyarakat, kejadian kehilangan pendengaran semakin
banyak ditemukan. Selain paparan suara bising, ada banyak faktor lain yang
menyebankan gangguan pendengaran seperti hipertensi, diabetes, obat-obatan, dan
paparan substansi yang dapat merusak telinga merupakan penyebab dari
berkurangnya pendengaran (Burkey, 2006). Lagi-lagi gaya hidup mempengaruhi
berkembangnya keadaan-keadaan tersebut.
Bising
lingkungan kerja merupakan masalah utama pada kesehatan kerja di berbagai
negara. Sedikitnya 7 juta orang (35% dari populasi industri di Amerika dan
Eropa) terpajan bising 85 dB atau lebih (Soetjipto, 2007). Di indonesia
penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising telah banyak dilakukan.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Sundari (1994) yang menemukan 31,55%
pekerja pabrik peleburan besi di Jakarta menderita tuli akibat bising dengan
intensitas bising antara 85-105 dB, dengan masa kerja rata-rata 8,99 tahun
(Soetjipto, 2007). Penelitian lain dilakukan oleh Lusianawaty (1998) yang
menemukan bahwa 7 dari 22 pekerja (31,8%) di perusahaan kayu lapis Jawa Barat
mengalami tuli akibat bising dengan intensitas bising lingkungan antara
84,9-108,2 dB (Soetjipto, 2007). Penelitian tentang gangguan pendengaran akibat
bising ini tidak hanya dilakukan di tempat kerja, tetapi juga di lingkungan,
seperti yang dilakukan oleh Hendarmin dan Hadjar tahun 1971, mendapatkan bising
jalan raya (jl. M.H Thamrin, Jakarta) sebesar 95 dB lebih pada jam sibuk
(Soetjipto, 2007).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas, rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Faktor-faktor
apa saja yang mempengaruhi ketulian akibat bising?
2. Bagaimana
gejala-gejala dari ketulian menetap?
3. Bagaimana
patofisiologi terjadinya ketulian menetap?
4. Bagaimana
pencegahan ketulian akibat bising?
5. Bagaimana
bentuk pengendalian kebisingan di tempat kerja?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang
dapat diambil dari rumusan masalah diatas adalah:
1. Untuk
mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ketulian akibat bising
2. Untuk
mengetahui gejala-gejala dari ketulian menetap.
3. Untuk
mengetahui patofisiologi ketulian menetap.
4. Untuk
mengetahui pencegahan ketulian akibat bising.
5. Untuk
mengetahui bentuk pengendalian kebisingan di tempat kerja.
1.4 Manfaat
Adapun
manfaat dari pembuatan makalah ini agar kita dapat mengetahui dan memahami
masalah dan dampak kebisingan terhadap kerusakan pendengaran khususnya ketulian
menetap.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum tentang PAK dan PAHK
Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit
yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan, proses maupun lingkungan
kerja. Dengan demikian Penyakit Akibat Kerja merupakan penyakit yang artifisial
atau man made disease. Upaya Kesehatan Kerja adalah upaya penyerasian
antara kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja agar setiap pekerja
dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat
di sekelilingnya, agar diperoleh produktivitas kerja yang optimal (UU Kesehatan
Tahun 1992 Pasal 23).
Sedangkan Penyakit Akibat Hubungan Kerja
(PAHK) adalah penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab, dimana factor
pada pekerjaan memegang peranan bersama dengan factor resiko lainnya dalam
berkembangnya penyakit yang mempunyai etiologi yang kompleks.
Diagnosa atau identifikasi suatu
penyakit akibat hubungan kerja yang terjadi pada suatu populasi pekerja dapat
dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan epidemologis dan
pendekatan klinis.
a.
Pendekatan Epidemiologis
Pendekatan ini terutama
digunakan apabila ditemukan adanya gangguan kesehatan atau keluhan pada
sekelompok pekerja. Pendekatan ini perlu untuk mengidentifikasi adanya hubungan
kausal antar suatu pajanan dengan penyakit.
b.
Pendekatan Klinis (individual)
Pendekatan ini perlu dilakukan untuk menentukan apakah seseorang
menderita penyakit yang diakibatkan oleh pekerjaannya atau tidak.
langkah-langkah yang harus dilakukan adalah:
1.
menentukan diagnosis klinis
2.
menentukan pajanan yang
dialami individu tersebut dalam pekerjaan
3.
menentukan apakah ada
hubungan antara pajanan dengan penyakit
4.
menentukan apakah pajanan
cukup besar
5.
menentukan apakah ada
factor-faktor individu yang berperan
6.
menentukan apakah ada factor
lain diluar pekerjaan
7.
menentukan diagnosis
penyakit akibat hubungan kerja.
2.2 Tinjauan Umum tentang Kebisingan
Kebisingan
didefinisikan sebagai suara yang tidak dikehendaki, misalnya yang merintangi
terdengarnya suara-suara, music, dsb, atau yang menyebabkan rasa sakit atau
yang menghalangi gaya hidup (JIS Z 8106 [IEC60050-801] kosa kata elektro-teknik
Internasional Bab 801: Akustikal dan elektroakustik)".
Kebisingan
yaitu bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan
waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan
lingkungan (KepMenLH No.48 Tahun 1996) atau semua suara yang tidak dikehendaki
yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja pada
tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (KepMenNaker No.51
Tahun 1999), jadi dapat disimpulkan bahwa kebisingan bunyi atau suara yang
tidak dikehendaki dan dapat mengganggu kesehatan, kenyamanan serta dapat
menimbulkan ketulian.
Menurut
Suma’mur (1986), jenis-jenis kebisingan yang sering ditemukan adalah:
1.
Bising terus
menerus (continuous noise)
Bising terus
menerus dihasilkan oleh mesin yang beroperasi tanpa henti, misalnya blower,
pompa, kipas angin, gergaji sirkuler, dapur pijar, dan peralatan pemprosesan
(Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
2.
Bising terputus-putus (intermittent noise)
Adalah
kebisingan saat tingkat kebisingan naik dan turun dengan cepat, seperti lalu
lintas dan suara kapal terbang di lapangan udara (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
Bising jenis
ini sering disebut juga intermittent noise, yaitu bising yang berlangsung secar
tidak terus-menerus, melainkan ada periode relatif tenang, misalnya lalu
lintas, kendaraan, kapal terbang, kereta api (Prabu,Putra, 2009).
3.
Bising tiba-tiba (impulsive noise)
Merupakan
kebisingan dengan kejadian yang singkat dan tiba-tiba. Efek awalnya menyebabkan
gangguan yang lebih besar, seperti akibat ledakan, misalnya dari mesin
pemancang, pukulan, tembakan bedil atau meriam, ledakan dan dari suara tembakan
senjata api (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003). Bising jenis ini
memiliki perubahan intensitas suara melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat dan
biasanya mengejutkan pendengarnya seperti suara tembakan suara ledakan mercon,
meriam (Prabu,Putra, 2009).
4.
Bising berpola (tones in noise)
Merupakan bising yang disebabkan
oleh ketidakseimbangan atau pengulangan yang ditransmisikan melalui permukaan
ke udara. Pola gangguan misalnya disebabkan oleh putaran bagian mesin seperti
motor, kipas, dan pompa. Pola dapat diidentifikasi secara subjektif dengan
mendengarkan atau secara objektif dengan analisis frekuensi (Goembira,
Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
5.
Bising frekuensi rendah (low frequency noise)
Bising ini memiliki energi akustik
yang penting dalam range frekuensi 8-100 Hz. Bising jenis ini biasanya
dihasilkan oleh mesin diesel besar di kereta api, kapal dan pabrik, dimana
bising jenis ini sukar ditutupi dan menyebar dengan mudah ke segala arah dan
dapat didengar sejauh bermil-mil (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar,
2003).
6.
Bising impulsif berulang
Sama dengan
bising impulsif, hanya bising ini terjadi berulang-ulang, misalnya mesin tempa
(Prabu,Putra, 2009).
2.3 Tinjauan
Umum tentang Ketulian
Ketulian
atau penurunan daya dengar dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu:
a.
Trauma Akustik
Trauma akustik
adalah efek dari pemaparan yang singkat terhadap suara yang keras seperti
sebuah letusan. Dalam kasus ini energi yang masuk ke telinga dapat mencapai
struktur telinga dalam dan bila melampaui batas fisiologis dapat menyebabkan
rusaknya membran thympani, putusnya rantai tulang pendengaran atau rusak
organ spirale (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
Trauma akustik
adalah setiap perlukaan yamg merusak sebagian atau seluruh alat pendengaran
yang disebabkan oleh pengaruh pajanan tunggal atau beberapa pajanan dari bising
dengan intensitas yang sangat tinggi, ledakan-ledakan atau suara yang sangat
keras, seperti suara ledakan meriam yang dapat memecahkan gendang telinga,
merusakkan tulang pendengaran atau saraf sensoris pendengaran (Prabu,Putra,
2009).
b.
Temporary
Threshold Shift (TTS)/Tuli Sementara
Tuli sementara
merupakan efek jangka pendek dari pemaparan bising berupa kenaikan ambang
pendengaran sementara yang kemudian setelah berakhirnya pemaparan bising, akan
kembali pada kondisi semula. TTS adalah kelelahan fungsi pada reseptor
pendengaran yang disebabkan oleh energi suara dengan tetap dan tidak melampui
batas tertentu. Maka apabila akhir pemaparan dapat terjadi pemulihan yang
sempurna. Akan tetapi jika kelelahan melampaui batas tertentu dan pemaparan
terus berlangsung setiap hari, maka TTS secara berlahan-lahan akan berubah
menjadi PTS (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
TTS diakibatkan
pemaparan terhadap bising dengan intensitas tinggi. Seseorang akan mengalami
penurunan daya dengar yang sifatnya sementara dan biasanya waktu pemaparan
terlalu singkat. Apabila tenaga kerja diberikan waktu istirahat secara cukup,
daya dengarnya akan pulih kembali (Prabu,Putra, 2009).
c.
Permanent
Threshold Shift (PTS)/Tuli Permanen
Tuli permanen
adalah kenaikan ambang pendengaran yang bersifat irreversible sehingga
tidak mungkin tejadi pemulihan. Gangguan dapat terjadi pada syaraf-syaraf
pendengaran, alat-alat korti atau dalam otak sendiri. Ini dapat diakibatkan
oleh efek kumulatif paparan terhadap bising yang berulang-ulang selama bertahun
(Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003).
Tuli permanen adalah terjadinya kerusakan
pendengaran yang sudah tidak dapat pulih atau disembuhkan kembali. Selain
terjadi secara alami yang disebabkan oleh faktor usia, penurunan pendengaran
juga akan terjadi apabila terus-menerus terpapar pada intensitas kebisingan
yang tinggi. Tuli sementara setelah terpapar bising, dan kemungkinan terjadinya
Tinitus, biasanya merupakan tanda-tanda terjadinya kerusakan pendengaran.
Tinitus bisa disebabkan oleh berbagai sumber
bising bahkan dari musik yang sangat keras, biasanya berlangsung selama
beberapa menit atau jam setelah terpapar bising yang tinggi dan akan hilang
setelah berada jauh dari tempat yang bising. Oleh karenanya hal ini sering
diabaikan dan lebih parah lagi biasanya dianggap sebagai bagian dari
pekerjaannya.
Kerusakan telinga permanen hampir selalu
dimulai dengan menurunnya sensitivitas pendengaran pada frekuensi 4.000 Hz dan
jika terus-menerus terpapar bising maka akan secara bertahap turun pada
frekuensi yang lebih rendah.
Hasil study Kryter dan Ward menyebutkan bahwa
terdapat hubungan yang sangat erat antara ketulian temporer dan ketulian
permanen. Beberapa kesimpulan yang bisa dijadikan pedoman adalah sebagai berikut
:
- Kebisingan yang mencapai 80 tau 90 dB hanya menyebabkan sedikit penaikan ambang dengar yaitu 5 atau 10 dB. Namun jika kebisingan meningkat hingga 100 dB, ambang dengar akan naik antara 50 sampai 60 dB.
- Penaikan secara temporer pada ambang pendengaran adalah sesuai dengan durasi bising. Sebagai contoh kebisingan 100 dB selama 10 menit akan menghasilkan penaikan sebesar 16 dB, dan setelah 100 menit meningkat menjadi 32 dB.
- Lamanya waktu yang dibutuhkan pendengaran untuk kembali ke normal juga sesuai dengan intensitas dan durasi bising. Waktu pemulihan adalah sekitar 10 % lebih lama dibandingkan durasi bising.
- Pergantian periode paparan bising dengan yang lebih tenang akan mengurangi resiko ketulian sementara.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi
ketulian akibat bising
Sebenarnya
ketulian dapat disebabkan oleh pekerjaan, misalnya akibat kebisingan, trauma
akustik, dapat pula disebabkan oleh bukan karena kerja (non-occupational
hearing loss).
Tetapi
tidak semua kebisingan dapat mengganggu para pekerja, hal tersebut tergantung
dari beberapa factor, diantaranya:
1.
Intensitas suara yang terlalu tinggi.
Nada 1000 Hz
dengan intensitas 85 dB, jika diperdengarkan selama 4 jam tidak akan
membahayakan. Intensitas menunjukkan derajat kebisingan.
2.
Usia karyawan.
Orang yang
berumur lebih dari 40 tahun akan lebih mudah tuli akibat bising (Depkes RI,
2003).
3.
Ketulian yang sudah ada sebelum bekerja.
4.
Tekanan dan frekuensi dari bising
tersebut.
Bising dengan
frekuensi tinggi lebih berbahaya daripada bising dengan frekuensi yang rendah.
5.
Lamanya bekerja.
Semakin lama
berada dalam lingkungan yang bising, maka semakin berbahaya untuk pendengaran.
6.
Sifat bising.
Bising yang
didengar secara terus-menurus lebih berbahaya dari bising yang didengar secara terputus-putus.
7.
Jarak dari sumber suara.
8.
Waktu diluar lingkungan bising.
Waktu kerja
dilingkungan bising diselingi dengan bekerja beberapa jam sehari dilingkungan
yang tenang akan mengurangi bahaya mundurnya pendengaran.
Sedangkan berdasarkan karakteristik frekuensinya, sumber bising dapat
dibedakan menjadi :
a. Discrete Frequency Noise, contohnya: fan /
blower, compressor, pump, internal combustion engine, transform, saw dan
plannar.
b. Broadband Noise, contohnya : steam leak, hammer
mill, petrochemical plant, gas tumbine, jet engine dan gas fire-burner.
c. Broadband and Discrete Frequency Noise,
contohnya : wood saw (dalam keadaan idle).
3.2 Gejala-gejala dari ketulian menetap
Gejala-gejala ketulian akibat bising tetap menurut Parmeggiani
(dikutip dalam Rozita E.,Wahyuni T, 2005) ada beberapa fase, diantaranya:
a.
Fase I
Terjadi pada 10-20 hari pertama
pemaparan bising. Pada saat sudah bekerja, telinga penderita terasa penuh,
mendenging, sakit kepala ringan, pusing, dan merasa lelah.
b.
Fase II
Terjadi pada jangka waktu pemaparan
beberapa bulan sampai beberapa tahun. Pada fase ini semua gejala subjektif
hilang, kecuali telinga yang mendenging secara intermitten. Gejala lain
tergantung dari sifat bising, lama waktu pemaparan, dan prediposisi
individual.
c.
Fase III
Terjadi sebagai lanjutan fase II. Pada
kondisi ini penderita merasa pendengarannya tidak normal lagi. Penderita tidak
dapat lagi mendengar pembicaraan-pembicaraan terutama jika terdapat bising
latar belakang.
d.
Fase IV
Pada fase ini, diikuti oleh tinnitus
yang tetap (terus menerus) yang menunjukan bahwa terjadi kerusakan pada
struktur syaraf dari cochlea. Hal ini tidak hanya mengganggu
pendengaran, tetapi juga mengganggu istirahat, tidur dan lain-lain.
3.3 Patofisiologi Ketulian menetap
Sistem pendengaran adalah sebuah
sistem yang kompleks. Sistem ini bergantung pada beberapa sistem lain untuk
menjalankan fungsinya dengan baik. Fungsi pendengaran normal bergantung pada
mekanisme mekanik pada telinga tengah dan koklea, mikromekanik dan seluler dari
organon corti, keseimbangan kimiawi dan lingkungan bioelektris telinga dalam,
dan sistem saraf pusat beserta saraf penghubungnya yang bekerja dengan baik
(Arts, 1999).
Sebagian besar paparan bising akan
menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural sementara yang dapat pulih dalam
24 sampai 48 jam. Keadaan reversibel ini disebut sebagai kenaikan ambang dengar
sementara atau Temporary Threshold Shift (TTS) (Arts, 1999). Apabila bising
tersebut memiliki intensitas yang cukup tinggi atau waktu paparan yang cukup
lama bahkan keduanya, maka akan terjadi kenaikan ambang dengar permanen,
Permanent Threshold Shift (PTS) (Arts, 1999). Sedangkan trauma akustik adalah
suatu paparan bising dalam tingkat yang berbahaya dimana akan mengakibatkan
keadaan PTS tanpa melalui proses TTS dalam satu kali paparan (Arts, 1999).
Stadium dini dari tuli akibat
paparan bising ditandai dengan kurva ambang pendengaran yang curam pada
frekuensi diantara 3000 dan 6000 Hz, biasanya pertama kali muncul pada 4000 Hz.
Pada fase dini ini penderita mungkin hanya mengeluh tinitus, suara yang
teredam, rasa tidak nyaman di telinga, atau penurunan pendengaran yang
temporer. Keluhan-keluhan ini dirasakan pada saat berada ditempat bising, atau
sesaat setelah meninggalkan tempat bising. Keluhan kemudian akan berangsur
menghilang setelah beberapa jam jauh dari lingkungan bising. Gangguan
pendengaran biasanya tidak disadari sampai ambang pendengaran bunyi nada
percakapan yaitu 500, 1000, 2000 dan 3000 Hz lebih dari 25 dB. Awal dan
perkembangan tuli syaraf akibat bising lambat dan tidak jelas. Ketulian selalu
bertipe sensorineural dan serupa baik kualitas maupun kuantitasnya pada kedua
telinga. Secara otoskopik, membran timpani tampak normal (Fox, 1997).
Dobie, R.A (2001) dalam Head and
Neck Surgery-Otolaryngology, menjelaskan bahwa GPAB mengakibatkan kerusakan
pada organon corti. Didapatkan kesulitan dalam menemukan kelainan anatomis
sehubungan dengan TTS, tetapi diyakini bahwa kelainan ini disebabkan oleh
stereocilia dari sel rambut yang berkurang ketegangannya yang mengakibatkan
turunnya respon terhadap rangsangan. Ketidakteraturan stereocilia ini dapat
kembali normal dalam jangka waktu tertentu. Sejalan dengan meningkatnya
intensitas dan durasi paparan bising, maka kerusakan akan semakin berat sampai
akhirnya terjadi hilangnya stereocilia tersebut. Ketika stereocilia telah
hilang, maka sel rambut sendiri akan mengalami kerusakan. Dengan bertambahnya
paparan, maka sel rambut dan sel-sel pendukung dalam organon corti akan turut rusak.
Selain itu juga dilaporkan adanya degenerasi syaraf pendengaran dan nukleus
pendengaran.
Penelitian eksperimental menunjukkan
bahwa nada murni dengan frekuensi dan intensitas tinggi akan merusak struktur
di ujung tengah basal (mid basal end) koklea dan frekuensi rendah akan merusak
struktur dekat apeks koklea. Bising dengan spektrum lebar dan intensitas tinggi
akan menyebabkan perubahan struktur di putaran basal pada daerah yang melayani
nada 4000 Hz. Kerusakan ringan terdiri dari terputusnya dan degenerasi
sel-sel rambut luar dan sel-sel penunjangnya. Kerusakan yang lebih berat
menunjukkan adanya degenerasi, baik sel rambut luar maupun sel rambut dalam dan
atau hilangnya seluruh organon corti (Fox, 1997).
Beberapa teori telah diajukan
mengenai mengapa daerah yang melayani frekuensi 4000 Hz lebih rentan terhadap
pemaparan bising. Teori yang paling populer adalah bahwa struktur anatomi di
daerah tersebut lebih lemah. Kelemahan struktur anatomi tersebut adalah sebagai
akibat ketajaman pendengaran dan spektrum dari stimulus suara. Didapatkan bahwa
ketulian yang paling dini terjadi pada sekitar satu sampai satu setengah oktaf
diatas skala frekuensi nada stimulator. Karena ambang pendengaran lebih peka
pada nada diantara 1000 dan 3000 Hz, beralasan untuk menduga bahwa bising
industri, karena spektrumnya, akan menyebabkan kerusakan paling dini pada
frekuensi antara 3000 sampai 4000 Hz (Fox, 1997).
Besarnya gangguan pendengaran yang
didapat tidak hanya dipengaruhi oleh intensitas bising dan durasi paparan tetapi
juga karakter dari bising tersebut (spektrum frekuensi dan pola waktu). Paparan
terhadap nada murni atau bising dengan spektrum frekuensi yang sempit
menyebabkan gangguan pendengaran terbesar. Gangguan pendengaran tersebut
terjadi pada kira-kira satu setengah oktaf diatas frekuensi suara dengan energi
terbesar. Alasan dibalik pergeseran satu setengah oktaf ini paling mungkin
adalah dari jarak pergeseran maksimal membran basilar terhadap dasar koklea
saat adanya peningkatan intensitas suara (Moller, 2006).
3.4 Pencegahan ketulian akibat bising
Sebelum
kehilangan pendengaran, ada beberapa tanda yang bisa menjadi peringatan dini,
diantaranya:
- Timbul suara berdengung (tinnitus) di telinga segera setelah terpapar kebisingan.
- Kesulitan untuk memahami pembicaraan. Seseorang bisa mendengar semua kata-kata yang diucapkan, tapi tidak dapat mengerti semuanya.
- Telinga seperti tertutup setelah terkena paparan suara.
Tujuan
utama perlindungan terhadap pendengaran adalah untuk mencegah terjadinya
ketulian yang disebabkan oleh kebisingan di lingkungan kerja. Tidak
ada kata terlambat untuk mencegah kehilangan pendengaran akibat suara-suara
bising. Mulailah mengistirahatkan telingan dengan cara:
1.
Sebisa mungkin mengecilkan volume suara yang
didengar atau dihasilkan.
2.
Menghindari atau mengurangi batas waktu
berada dalam tempat yang bising seperti konser musik rock atau klub malam.
3.
Usahakan untuk menggunakan pelindung
pendengaran jika harus berada di lingkungan yang bising.
4.
Menghentikan sementara penggunaan headphone.
5.
Menghindari penggunaan headphone untuk
meredam suara bising di luar seperti kereta atau lalu lintas.
6.
Gunakanlah volume yang pintar 'smart volume'
dalam menggunakan MP3 player.
3.6 Bentuk
pengendalian kebisingan ditempat kerja
Seperti halnya pada pengendalian faktor-faktor bahaya lain di tempat
kerja, pengendalian kebisingan juga harus melalui urutan-urutan/hirarki (hierarchy
of control) yang benar dan sesuai. Enam langkah/metode yang biasanya
dijadikan pedoman dalam hirarki pengendalian adalah sebagai berikut :
1.
Rekayasa
ulang (redesign) --- mesin atau proses.
2.
Penggantian
(substitution) --- bahan atau proses.
3.
Isolasi (segregation/isolation)
--- sumber bahaya dari pekerja.
4.
Pengendalian
teknis (engineering control) --- pemeliharaan atau modifikasi mesin.
5.
Pengendalian
secara administrasi (administrative control) --- modifikasi jadwal kerja.
6.
Alat
pelindung diri (personal protective equipment) --- bagi para pekerja
Pengendalian kebisingan yang paling baik adalah
dengan menghilangkan sumber suara darimana kebisingan tersebut berasal. Akan
tetapi karena berbagai alasan biasanya langkah ini sangat sulit untuk
dilakukan. Untuk itu dengan berpedoman pada enam langkah pengendalian di atas,
kebisingan bisa dikendalikan melalui beberapa cara di bawah ini.
1.
Pengendalian pada
sumbernya
a.
Dengan
merekasaya ulang (redesign) proses atau penggantian alat; misalnya
menggantian roller dengan conveyor belt, penggunaan mesin-mesin
yang tidak membutuhkan kipas pendingin, atau panggantian pipa-pipa logam dengan
yang dari plastik.
b.
Dengan
mengganti bahan-bahan atau proses yang menghasilkan bising; misalnya pembelian
bahan-bahan dengan ukuran yang sudah dipotong sebelumnya untuk menghilangkan
proses pemotongan.
c.
Dengan
modifikasi teknis pada alat-alat dan mesin-mesin yang sudah terpasang; misalnya
pemasangan isolasi atau damping pada bagian yang bergetar, mengurangi jarak
jatuh material, atau penggantian komponen-komponen logam dengan bahan-bahan
yang lebih rendah emisi suaranya.
2.
Pengendalian pada
jalan rambat kebisingan
a.
Pemisahan
sumber bising dari pekerja; misalnya pemindahan ruang generator jauh dari
tempat kerja.
b.
Isolasi
peralatan yang bising di ruang kedap suara; misalnya pompa dan kompresor udara
bisa ditempatkan di ruang dengan insulasi suara.
c.
Isolasi
pekerja di ruang kedap suara; misalnya ruang operator mesin dengan remote-control
panel.
d.
Modifikasi
teknis pada peralatan atau bahan-bahan yang mengeluarkan bising; misalnya
pemasangan penghalang kebisingan frekuensi tinggi, pembuatan alat-alat anti
kebisingan atau pemasangan panel-panel penyerap kebisingan pada dinding atau
atap ruangan.
3.
Pengendalian secara administrasi
Untuk mengurangi
waktu pemaparan pekerja terhadap kebisingan; misalnya rotasi pekerjaan sehingga
tidak ada pekerja yang terpapar kebisingan melebihi ambang batas.
Penggunaan alat
pelindung diri (APD) untuk menghalangi rambatan kebisingan pada pekerja.
Seperti :
1. Sumbat
telinga (ear plugs), dimasukkan dalam telinga sampai menutup rapat
sehingga suara tidak mencapai membrane timpani. Sumbat telinga dapat mengurangi
bising s/d 30 dB.
2. Tutup
telinga (ear muff), menutupi seluruh telinga eksternal dan
dipergunakan untuk mengurangi bising s/d 40-50 dB.
3. Helmet
(enclosure), menutupi seluruh kepala dan digunakan untuk mengurangi
bising maksimum 35dB.
BAB IV
PENUTUP
1.1
Kesimpulan
Bagi yang seringkali terpapar pada lingkungan
kerja yang bising supaya lebih mematuhi norma-norma kesehatan kerja terutama
yang berhubungan dengan masalah kebisingan. Hindari tempat-tempat dengan
tingkat kebisingan tinggi dimanapun dan kapanpun bila memungkinkan. Dengan
demikian akan terhindar dari resiko bahaya ‘noise-induced hearing loss’ atau
gangguan kesehatan akibat terpapar kebisingan yang lain.
1.2
Saran
Kurang
pendengaran akibat bising terjadi secara perlahan, dalam waktu hitungan bulan
sampai tahun. Hal ini sering tidak disadari oleh penderitanya, sehingga pada
saat penderita mulai mengeluh kurang pendengaran, biasanya sudah dalam stadium
yang tidak dapat disembuhkan (irreversibe). Untuk itu diperlukan kesadaran dari
setiap individu untuk menghindari intensitas pemaparan terhadap sumber
kebisingan.
DAFTAR PUSTAKA