Jumat, 29 Maret 2013

Migrasi Penduduk


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Analisis demografi memberi sumbangan yang sangat besar, baik kualitatif maupun kuantitatif pada kebijakan kependudukan. Dinamika kependudukan terjadi karena adanya dinamika kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas) dan perpindahan penduduk (migrasi) terhadap perubahan-perubahan dalam jumlah, komposisi dan pertumbuhan penduduk. Perubahan-perubahan unsur demografi tersebut pada gilirannya mempengaruhi perubahan dalam berbagai bidang pembangunan secara langsung maupun tidak langsung. Selanjutnya perubahan-perubahan yang terjadi di berbagai bidang pembangunan akan mempengaruhi dinamika kelahiran, kematian dan perpindahan penduduk, khususnya untuk migrasi.
Tjiptoherijanto (2000) menyatakan bahwa migrasi penduduk merupakan kejadian yang mudah dijelaskan dan tampak nyata dalam kehidupan sehari-hari, namun pada prakteknya sangat sulit untuk mengukur dan menentukan ukuran bagi migrasi itu sendiri. Hal ini disebabkan karena hubungan antar migrasi dan proses pembangunan yang terjadi dalam suatu Negara/daerah saling mengkait. Umumnya migrasi penduduk mengarah pada wilayah yang “subur” pembangunan ekonominya, karena faktor ekonomi sangat kental mempengaruhi orang untuk pindah. Hal ini dipertegas lagi oleh Tommy Firman (1994), bahwa migrasi sebenarnya merupakan suatu reaksi atas kesempatan ekonomi pada suatu wilayah pola migrasi di Negara-negara yang telah berkembang biasanya sangat rumit (kompleks) menggambarkan kesempatan ekonomi  yang labih seimbang dan saling ketergantungan antar wilayah di dalamnya. Sebaliknya, di Negara-negara berkembang biasanya pola migrasi menunjukkan suatu polarisasi, yaitu pemusatan arus migrasi ke daerah-daerah tertentu saja, khusunya kota-kota besar. Migrasi ini juga merefleksikan keseimbanganaliran sumber daya manusia dari suatu wilayah ke wilayah lainnya.
Tinjauan migrasi secara regional sangat penting dilakukan terutama terkait dengan kepadatan dan distribusi penduduk yang tidak merata, adanya factor-faktor pendorong penarik bagi penduduk untuk melakukan migrasi, kelancaran sarana transportasi antar wilayah, dan pembangunan wilayah dalam kaitannya dengan desentralisasi pembangunan.
Mencermati berbagai kajian dan penelitian tentang migrasi, termausk migrasi Internasional, salah satu kesan yang menonjol adalah kentalnya focus pada event yang teramati dan terukur. Maksudnya, kajian migrasi terlalu banyak mengaitkan variable yang teramati (observable), khususnya variable-variabel social ekonomi, untuk menjelaskan berbagai hal yang terkait dengan migrasi, yang memang diyakini memiliki dimensi yang kompleks. Akhir-akhir ini ada kekhawatiran bahwa kecenderungan ini akan menyebabkan pendangkalan sekaligus penciutan kajian penciutan kajian migrasi meskipun diupayakan untuk melebarkan konteksnya. Dalam kajian migrasi internasional, misalnya, permasalahan sering hanya terfokus pada kaitan antara besarnya ketersediaan tenaga kerja dan peluang kerja di luar negeri. Atau, besarnya daya dorong dan daya tarik sebagai penyebab arus migrasi meruoakan penjelas paling tepat dalam menganalisis proses migrasi. Dengan kata lain, orang pergi migrasi ke luar negeri terbatas sebagai respons terhadap stimulus yang ada.
Pandangan ini tidak keliru, tetapi dapat menjebaknya ke dalam kognitive drones. Mengapa? Di sini manusia tidak di pandang sebagai makhluk yang memiliki latar belakang social dan budaya dan tidak hidup dalam konteks waktu dan tempat tertentu. Migran kurang di perhatikan sebagai individu dan anggota kelompok sosial. Akibatnya, migran sering harus menanggung beban dan menjadi korban atas proses itu, meskipun mereka juga menikmati hasilnya. Gejala ini juga diyakini menyebabkan terpisahnya penelitian migrasi dengan perkembangan teori-teori sosial, padahal migrasi merupakan salah satu gejala sosial yang sangat tua tidak mungkin terlepas dari perkembangan sosial, politik, dan ekonomi pada umumnya (lihat Robinson & Carey, 2000).
1.2    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah:
a.  Apa pengertian dari migrasi itu sendiri?
b.  Apa saja jenis-jenis migrasi?
c.  Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya migrasi?
d.  Bagaimana pengaruh Urbanisasi terhadap Pola dan Arus Migrasi di Indonesia?
e.  Bagaimana perilaku migrasi penduduk?
f.  Apa dampak migrasi penduduk?
g.  Bagaimna usaha-usaha yang di lakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan migrasi?

1.3    Tujuan
Tujuan yang dapat kita peroleh dari makalah ini adalah :
a.  Mengetahui tentang pengertian dari migrasi itu sendiri
b.  Mengetahui jenis-jenis migrasi
c.  Mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi terjadinya migrasi
d.  Mengetahui pengaruh Urbanisasi terhadap Pola dan Arus Migrasi di Indonesia
e.  Mengetahui perilaku migrasi penduduk
f.  Mengetahui dampak yang terjadi pada migrasi penduduk
g.  Mengetahui usaha-usaha pemerintah dalam mengatasi permasalahan migrasi 












BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Migrasi
Migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain dengan melewati batas negara atau batas administrasi dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas politik/Negara ataupun batas administrasi/batas bagian dalam suatu Negara (Munir, 2000: 116). Dengan kata lain, migrasi di artikan sebagai perpindahan yang relative permanen dari suatu daerah (Negara) ke daerah (Negara) lain. Migrasi sukar diukur karena migrasi dapat didefinisikan dengan berbagai cara dan merupakan suatu peristiwa yang mungkin berulang beberapa kali sepanjang hidupnya.
Hampir semua definisi menggunakan kriteria waktu dan ruang, sehingga perpindahan yang termasuk dalam proses migrasi setidak-tidaknya dianggap semi permanen dan melintasi batas-batas geografis tertentu (Young, 1984:94). Untuk Indonesia sendiri, analisis migran hanya dapat menggunakan data hasil sensus penduduk yang dilakukan 10 tahun sekali dan data sampel hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS), yang dilakukan di tengah-tengah antar dua sensus. Oleh karena itu, analisis migrasi masih sangat kurang dilakukan orang, mengingat data penduduk analisis ini sangat kurang sekali, kecuali jika program pendataan model registrasi penduduk telah dilakukan oleh suatu Negara dengan baik.

2.2  Jenis-jenis Migrasi
Migrasi dapat dibagi atas dua golongan yaitu:
a.     Migrasi Internasional, adalah perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain. Migrasi ini dapat dibedakan atas tiga macam yaitu: Imigrasi(masuknya penduduk dari suatu negara ke negara lain dengan tujuan menetap), Emigrasi (keluarnya penduduk dari suatu negara ke negara lain), Remigrasi (kembalinya imigran ke negara asalnya).
b.     Migrasi Nasional atau Internal, yaitu perpindahan penduduk di dalam satu Negara. Migrasi ini terdiri atas beberapa jenis, yaitu Urbanisasi, Transmigrasi, Ruralisasi. Urbanisasi adalah perpindahan dari desa ke kota dengan tujuan menetap. Factor yang menyebabkan terjadinya urbanisasi yaitu Ingin mencari pekerjaan, karena di kota lebih banyak lapangan kerja dan upahnya tinggi, Ingin mencari pengalaman di kota, Ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan sebagainya. Transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari pulau yang padat penduduk ke pulau yang jarang penduduknya di dalam wilayah Indonesia. Ruralisasi adalah perpindahan penduduk dari kota ke desa dengan tujuan menetap. Ruralisasi merupakan kebalikan dari urbanisasi.

2.3  Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya migrasi
a.   Faktor pendorong (faktor dari daerah asal) seperti, adanya bencana alam, panen gagal, lapangan kerja terbatas, keamanan terganggu, kurangnya sarana pendidikan.
b.   Faktor penarik (faktor dari di daerah tujuan) seperti, tersedianya lapangan kerja, upah tinggi, tersedia sarana pendidikan kesehatan dan hiburan.

Faktor yang terletak diantara daerah asal dan daerah tujuan yang disebut penghalang yang termasuk faktor ini misalnya jarak jenis alat transport dan biaya transport jarak yang tidak jauh dan mudahnya transportasi mendorog mobilitas penduduk. Yang terdapat pada diri seseorang disebut faktor individu. Faktor ini sangat mempengaruhi keinginan seseorang untuk melakukan mobilitas atau tidak. Contoh faktor individu ini antara lain: umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan.
Faktor pendorong dan penarik perpindahan penduduk ada yang negatif dan ada yang positif. Faktor pendorong yang positif yaitu para migran ingin mencari atau menambah pengalaman di daerah lain. Sedangkan faktor pendorong yang negatif yaitu fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup terbatas dan lapangan pekerjaan terbatas pada pertanian. Faktor penarik yang positif yaitu daerah tujuan mempunyai sarana pendidikan yang memadai dan lebih lengkap. Faktor penarik yang negatif adalah adanya lapangan pekerjaan yang lebih bervariasi, kehidupan yang lebih mewah, sehingga apa saja yang diperlukan akan mudah didapat dikota.
2.4  Pengaruh Urbanisasi terhadap Pola dan Arus Migrasi di Indonesia
    Berdasarkan data migrasi, sejak tahun 1971 hingga 1990, Jakarta merupakan tujuan proponsi penerima migran paling besar (nomor satu) di Indonesia. Dengan adanya urbanisasi di wilayah Jakarta ini, banyak penduduk yang bekerja di Jakarta, namun bertempat tinggal di wilayah sekitar Jakarta (Botabek), dengan berbagai sebab, karena ingin mendapatkan tempat tinggal yang lebih luas, lebih baik, dan lebih sedikit polusi untuk keluarga mereka.
Disamping itu, banyak Industri didirikan di daerah pinggiran kota Jakarta (Botabek), banyak menarik tenaga kerja secara khusus dan penduduk secara umum untuk bermigrasi ke daerah Botabek (Jawa Barat) ini. Menurut Firman (1995), kecenderungan berkembangnya dengan pesat kegiatan ekonomi di kota-kota besar seperti di DKI Jakarta adalah tidak lain karena ada “ekonomi urbanisasi” yang terdapat di kota-kota besar, yang secara sederhana didefinisikan sebagai keuntungan-keuntungan ekonomi dari sebuah kota. Sebagai gambaran sebagaimana kota-kota besar dapat bersaing dengan berbagai macam aktivitas ekonomi, yaitu adanya kenyataan bahwa hingga Juli 1995, kira-kira setengah Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), dari koordinasi penanaman modal (BKPM) terkonsentrasi di Jabotabek atau Jakarta.
2.5  Perilaku migrasi penduduk
Perilaku mobilitas penduduk oleh Ravenstain disebut dengan hukum-hukum migrasi sebagai berikut: Para migran cenderung memilih tempat terdekat sebagai daerah tujuan. Faktor paling dominan yang mempengaruhi seseorang untuk bermigran adalah situasinya memperoleh pekerjaan di daerah asal dan kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik di daerah tujuan. Daerah tujuan mempunyai nilai kefaedahan wilayah (place utility) lebih tinggi dibanding dengan daerah asal. Semakin tinggi pengaruh kekotaan terhadap seseorang, semakin besat tingkat mobilitasnya. Semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi frukuensi mobilitasnya.
Penduduk yang masih muda dan belum kawin lebih banyak melakukan migrasi dari pada mereka yang berstatus kawin. Penduduk yang berpendidikan tinggi biasanya lebih banyak melaksanakan mobilitas dari pada yang berpendidikan rendah. Kepuasan terhadap kehidupan di masyarakat baru tergantung pada hubungan sosial para pelaku hubungan sosial para pelaku mobilitas dengan masyarakat tersebut. Kepuasan terhadap kehidupan di kota tergantung pada kemampuan perseorangan untuk mendapatkan pekerjaan dan adanya kesempatan bagi anak-anak untuk berkembang. Setelah menyesuaikan diri dengan kehidupan kota, para pelaku mobilitas pindah ke tempat tinggal dan memilih daerah tempat tinggal dipengaruhi oleh daerah tempat bekerja.
2.6  Dampak migrasi penduduk
Migrasi penduduk baik nasional maupun internasional masing-masing memiliki dampak positif dan negatif terhadap daerah asal maupun daerah tujuan.
a.   Dampak positif dari migrasi yaitu dapat membantu memenuhi kekurangan tenaga ahli, dapat menambah rasa solidaritas antarbangsa, adanya pengenalan ilmu dan teknologi dapat mempercepat alih teknologi.
b.   Dampak negatif dari migrasi yaitu masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa, imigran yang masuk adakalanya di antara mereka memiliki tujuan yang kurang baik seperti pengedar narkoba, bertujuan politik, dan lain-lain.

2.7  Usaha-usaha pemerintah untuk mengatasi permasalahan migrasi
Usaha pemerintah untuk menanggulangi permasalahan migrasi, adalah sebagai berikut :
1.         Persebaran pembangunan industri sampai ke daerah-daerah.
2.         Peningkatan pendapatan masyarakat desa melalui intensifikasi dan Koperasi Unit Desa.
3.         Pembangunan jaringan jalan sampai ke desa-desa sehingga hubungan antara desa dan kota menjadi lancar.
4.         Meningkatkan penyuluhan program Keluarga Berencana untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk di pedesaan.
5.         Pembangunan fasilitas yang lebih lengkap seperti pendidikan dan kesehatan.










BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kita peroleh adalah bahwa permasalahan migrasi yang terjadi ini bukan hanya merupakan permasalahan konseptual tetapi juga merupakan permasalahan pendekatan. Determinan migran yang paling utama adalah factor ekonomi. Ini teelihat dari pola dan arus migrasi yang terjadi di Indonesia. Tidak ada satu propinsi pun yang ada di Indonesia yang tidak mengalami perpindahan penduduk, baik perpindahan masuk, maupun perpindahan keluar. Fenomena migran ini melahirkan masalah-masalah sosial yang menarik untuk di kaji dalam pengembangan keilmuan ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi. Fenomena seperti remiten dan adaptasi migrant di tempat tujuan adalah kajian yang sudah “keluar” dari outline demografi sehingga membutuhkan masuknya analisis dari disiplin-disiplin lain termasuk sosiologi.

3.2  Saran  
    Saran saya dalam mengurangi terjadinya migrasi penduduk ini adalah dengan mengadakan lowongan pekerjaan yang penghasilannya itu bisa menjamin para migran sehingga mereka tidak bermigrasi ke daerah/Negara lain, yang belum tentu menjamin kehidupan mereka selanjutnya. Bisa saja, setelah mereka bermigrasi ke daerah/Negara tertentu, bukannya malah sejahtera melainkan membuat ekonomi mereka semakin terperosot.  Selain itu, di daerah/Negara yang menjadi tempat tinggal mereka semula, harus ada fasilitas pendidikan maupun maupun fasilitas lainnya yang memadai sehingga mereka tidak mudah berpindah ke daerah/Negara tertentu.

DAFTAR PUSTAKA
                    
·                Brodjonegoro, P.S. Bambang, “Pemulihan Ekonomi, Otonomi Daerah dan Kesempatan Kerja di Indonesia”, Warta Demografi, Tahun Ke 30, No. 3, 2000.
·                Darmawan, Beny, “Perkiraan Pola Migrasi Antarprovinsi Di Indonesia Berdasarkan“Indeks Ketertarikan Ekonomi”, Makalah Disampaikan Pada Seminar Poverty,Population & Health Di Kampus Ui Depok, 13 Desember 2007.
·                Emalisa, Pola dan Arus Migrasi di Indonesia, dari http://library.usu.ac.id/download/fp/sosek-emalisa.pdf. pada tanggal 21 Januari 2008.
·                Faturochman, “Why People Move: A Psychological Analysis of Urban Migration”, Populasi 1 (3), 1992.
·                Fawcett, James T., “Migration Psychology: New Behavioral Model”, Population and Environment 8 (1), 1986.
·                Firman, Tommy. “Migrasi Antar Provinsi dan Pembangunan Wilayah di Indonesia”. Prisma No.7 Th. XXIII, 1994.
·                Janis, Irving L. and Leon Mann, Decision Making: a Psychological Analysis of Conflict,Choice and Commitment, New York: Free Press, 1977.
·                Kahar, Suleman Hi. Abdul, Migrasi Keluar dari Sulawesi Selatan Analisis Data SUPAS1995, Jakarta: Program Pascasarjana Program Studi Kependudukan dan Ketenagakerjaan, Universitas Indonesia, 2001





Contoh Kasus Malpraktik Dalam Kesehatan



1.      Kasus Malpraktik dalam bidang Orthopedy
Gas Medik yang Tertukar
Seorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana layaknya, sebelum pembedahan dilakukan anastesi terlebi dahulu. Pembiusan dilakukan oleh dokter anastesi, sedangkan operasi dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (orthopedy).
Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas. Bahkan setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan hingga tak sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di perawatan intensif dengan bantuan mesin pernapasan (ventilator). Tentu kejadian ini sangat mengherankan. Pasalnya, sebelum dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah tulangnnya.
Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas anastesi (N2O) yang dipasang pada mesin anastesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses oksigenasi menjadi sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal. Ini sebuah fakta penyimpangan sederhana namun berakibat fatal.
Dengan kata lain ada sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas anastesi. Dan ternyata, di rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar pengamanan pemakaian gas yang dipasang di mesin anastesi. Padahal seharusnya ada standar, siapa yang harus memasang, bagaimana caranya, bagaimana monitoringnya, dan lain sebagainya. Idealnya dan sudah menjadi keharusan bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis (misalnya warna tabung gas yang berbeda), jelas, dengan formulir yang memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan ditandatangani. Seandainya prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil kemungkinan terjadi kekeliruan. Dan kalaupun terjadi akan cepat diketahui siapa yang bertanggung jawab.

Tinjauan Kasus
Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum
a.       Tinjauan Malpraktik Pidana dan Sanksi Hukumnya
Kasus tersebut merupakan bentuk malpraktik pidana sebab telah melanggar beberapa aturan dalam KUHP untuk kelalaian yang berlaku bagi setiap orang, yang diatur dalam Pasal 359, 360, dan 361 KUHP
Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.
 Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
 (1) ‘Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun’.
(2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.

Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), “Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.” Namun, apabila kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat dilakukan.
Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa) seperti dalam kasus malpraktek dalam bidang orthopedy tersebut, maka adalah hal yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang. Perbuatan tersebut telah nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu profesi yang mulia.
Pekerjaan profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus sangat berhati-hati untuk mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan tugas-tugasnya karena sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tuduhan malpraktik bukan hanya ditujukan terhadap tindakan kesengajaan (dolus) saja.Tetapi juga akibat kelalaian (culpa) dalam menggunakan keahlian, sehingga mengakibatkan kerugian, mencelakakan, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Selanjutnya, jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik yang tidak memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi pidana.

b.      Tinjauan Malpraktik Perdata dan sanksi Hukumnya
Kasus di atas juga dapat dikategorikan sebagai malpraktik perdata ketika Seorang dokter orthopedy yang telah terbukti melakukan kelalaian sehingga pasiennya menderita luka atau mati. Tindakan malpraktik tersebut juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
 Seorang dokter yang telah terbukti melakukan kelalaian sehingga pasiennya menderita luka atau mati, dapat digugat secara perdata berdasarkan Pasal 1366 atau 1370 KUH Perdata

Pasal 1366 KUH Perdata
Kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.”
Pasal 1370 KUH Perdata
Dalam hal pembunuhan (menyebabkan matinya orang lain) dengan sengaja atau kurang hati-hati seseorang, maka suami dan istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua yang biasanya mendapat nafkah dari pekerjaan korban, mempunyai hak untuk menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukannya dan kekayaan kedua belah pihak serta menurut keadaan.
Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan :
Menurut Pasal Undang-undang tersebut diatas :
Ayat (1)
Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan
Ayat (2)
Ganti rugi yang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Penjelasan
Ayat (1)
Pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu upaya untuk memberi perlindungan bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik maupun nonfisik karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Perlindungan ini sangat penting karena akibat kesalahan atau kelalaian itu mungkin dapat menyebabkan kematian atau menimbulkan cacat dan permanen
Yang dimaksud dengan kerugian fisik adalah hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh, sedangkan kerugian nonfisik berkaitan dengan martabat seseorang
Ayat (2)
Cukup jelas

c.       Tinjauan Malpraktik Etik dan Sanksinya
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sitem tentang motifasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental: bagaimana saya harus hidup dan bertindak?. Bagi seorang sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi professional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya, etika berarti kewajiban dan tanggungjawab memenuhi harapan profesi dan masyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang professional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, professional dan terhormat.
Selain melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, ditinjau dari Sudut Pandang Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI), tindakan tersebut juga dapat menjadi bentuk malpraktik etik karena dokter tersebut tidak melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi.
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “ seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya seebagai seorang proesional harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter hrus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaan manusia.
Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI) sangatlah perlu ditingkatkan untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering terjadi yang dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat/pengacara, notaris, akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik. Dalam hal ini Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Karena itu seperti kasus yang ditampilkan maka juga harus dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam kode etik.
Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga dapat dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut. Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum hanyalah lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan. Jika ternyata terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata. Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya.

2.      Contoh Kasus

Kasus Prita VS RS OMNI International

Jakarta – Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.
Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.
Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan ditangani oleh dr Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.
dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.
Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.
Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.
Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.
Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.
Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.
Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr H saja.
Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.
Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri.
dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.
Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.
Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.
Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.
Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Og(Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain tertulis.
Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen. Atas nama Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya.
Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.
Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.
Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista.
Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.
Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut.
Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah.
Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.
Terutama dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini cantum.
Saya bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami.
Pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.
Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.
Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.
Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.
Sdr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr B). Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.
Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan.
Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.
Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.
Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.
Salam,
Prita Mulyasari
Alam Sutera
081513100600
Tinjauan Kasus dalam Hal Malraktik Administratif
Melihat kasus tersebut, dapat ditemukan sebuah contoh malpraktik administrasi berupa pelanggaran dalam rekam medis. Dalam PERMENKES No. 749a/Menkes/XII/89 tentang RM disebutkan pengertian RM adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.
Pasal 14 Permenkes no. 749a/1989 tentang tujuan dan fungsi rekam medis yaitu sebagai dasar pelayanan kesehatan dan pengobatan, pembuktian hukum, penelitian dan pendidikan, dasar pembiayaan pelayanan kesehatan, dan statistic kesehatan. Maka rekam medis harus dibuat relevan, kronologis dan orisinil. Data yang diberikan haruslah berupa data yang sebenarnya dan bukan karangan semata. Dalam kasus di atas telah terjadi pemalsuan data tentang kondisi pasien sesuai dengan pengakuan dari pasien atau si penderita yang menyebutkan bahwa “Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.” hal ini dinilai telah melanggar hukum adminitrasi, karena data yang dilaporkan dalam rekam medis pasien adalah fiktif dan tidak sesuai dengan kenyataannya, bersamaan dengan itu juga tenaga perawatan dinilai telah lalai dari kewajibannya dalam menyediakan rekam medis pasien.