Tentunya
setiap saat kita pasti bicara. Entah itu kita bicara dengan orang lain maupun
berbicara pada diri sendiri….
Berbicara
merupakan suatu bentuk komunikasi dimana seseorang dapat mengungkapkan perasaan
yang dirasakannya. Ada pepatah yang mengatakan bahwa “bicara itu seperti mengendarai motor atau mobil, semakin kita sering
melakukannya maka kita semakin mahir dalam mengendarainya”. Begitu juga
dengan berbicara, kalau kita sering melatih diri kita berbicara di depan publik,
maka rasa gugup dan takut yang ada di dalam diri kita akan hilang.
Memang
tidak semua orang dapat berbicara dengan baik. Maka dari itu, diperlukan rasa
percaya diri. Rasa percaya diri ini akan timbul di dalam jiwa seseorang jika
kita menyakinkan pada diri kita sendiri bahwa kita pasti bisa.
Rasa
kurang percaya diri biasanya muncul ketika seseorang lebih dikuasai oleh rasa
malu, takut akan kesalahan kata, penampilan kurang menarik dan sebagainya
sehingga kalau hal ini kita biarkan maka sampai kapan pun kita tidak akan
pernah bisa berbicara dengan baik di depan keluarga, teman bahkan masyarakat
luas.
Jangan
malu ketika kita berbicara di depan orang lain. Semua orang pernah salah. Tetapi
dari kesalahannya itu, ia belajar agar ketika berbicara berikutnya ia harus
lebih baik lagi. Kalau kita terus mencoba dan mencoba maka tanpa konsep pun kita
dapat berbicara dengan baik, karena kunci kesuksesan hidup adalah berbicara.
Apabila kita tidak melatih diri dari sekarang maka kesuksesan yang tadinya
dapat kita raih, terlepaskan begitu saja tanpa kita sadari.
Analisis demografi memberi sumbangan
yang sangat besar, baik kualitatif maupun kuantitatif pada kebijakan
kependudukan. Dinamika kependudukan terjadi karena adanya dinamika kelahiran
(fertilitas), kematian (mortalitas) dan perpindahan penduduk (migrasi) terhadap
perubahan-perubahan dalam jumlah, komposisi dan pertumbuhan penduduk.
Perubahan-perubahan unsur demografi tersebut pada gilirannya mempengaruhi
perubahan dalam berbagai bidang pembangunan secara langsung maupun tidak
langsung. Selanjutnya perubahan-perubahan yang terjadi di berbagai bidang
pembangunan akan mempengaruhi dinamika kelahiran, kematian dan perpindahan
penduduk, khususnya untuk migrasi.
Tjiptoherijanto (2000) menyatakan
bahwa migrasi penduduk merupakan kejadian yang mudah dijelaskan dan tampak
nyata dalam kehidupan sehari-hari, namun pada prakteknya sangat sulit untuk
mengukur dan menentukan ukuran bagi migrasi itu sendiri. Hal ini disebabkan
karena hubungan antar migrasi dan proses pembangunan yang terjadi dalam suatu
Negara/daerah saling mengkait. Umumnya migrasi penduduk mengarah pada wilayah
yang “subur” pembangunan ekonominya, karena faktor ekonomi sangat kental
mempengaruhi orang untuk pindah. Hal ini dipertegas lagi oleh Tommy Firman
(1994), bahwa migrasi sebenarnya merupakan suatu reaksi atas kesempatan ekonomi
pada suatu wilayah pola migrasi di Negara-negara yang telah berkembang biasanya
sangat rumit (kompleks) menggambarkan kesempatan ekonomiyang labih seimbang dan saling ketergantungan
antar wilayah di dalamnya. Sebaliknya, di Negara-negara berkembang biasanya
pola migrasi menunjukkan suatu polarisasi, yaitu pemusatan arus migrasi ke
daerah-daerah tertentu saja, khusunya kota-kota besar. Migrasi
ini juga merefleksikan keseimbanganaliran sumber daya manusia dari suatu
wilayah ke wilayah lainnya.
Tinjauan migrasi secara regional sangat penting dilakukan
terutama terkait dengan kepadatan dan distribusi penduduk yang tidak merata,
adanya factor-faktor pendorong penarik bagi penduduk untuk melakukan migrasi,
kelancaran sarana transportasi antar wilayah, dan pembangunan wilayah dalam
kaitannya dengan desentralisasi pembangunan.
Mencermati berbagai kajian dan penelitian tentang migrasi,
termausk migrasi Internasional, salah satu kesan yang menonjol adalah kentalnya
focus pada event yang teramati dan terukur. Maksudnya, kajian migrasi terlalu
banyak mengaitkan variable yang teramati (observable), khususnya
variable-variabel social ekonomi, untuk menjelaskan berbagai hal yang terkait
dengan migrasi, yang memang diyakini memiliki dimensi yang kompleks.
Akhir-akhir ini ada kekhawatiran bahwa kecenderungan ini akan menyebabkan
pendangkalan sekaligus penciutan kajian penciutan kajian migrasi meskipun
diupayakan untuk melebarkan konteksnya. Dalam kajian migrasi internasional,
misalnya, permasalahan sering hanya terfokus pada kaitan antara besarnya
ketersediaan tenaga kerja dan peluang kerja di luar negeri. Atau, besarnya daya
dorong dan daya tarik sebagai penyebab arus migrasi meruoakan penjelas paling
tepat dalam menganalisis proses migrasi. Dengan kata lain, orang pergi migrasi
ke luar negeri terbatas sebagai respons terhadap stimulus yang ada.
Pandangan ini tidak keliru, tetapi dapat menjebaknya ke
dalam kognitive drones. Mengapa? Di sini manusia tidak di pandang sebagai
makhluk yang memiliki latar belakang social dan budaya dan tidak hidup dalam
konteks waktu dan tempat tertentu. Migran kurang di perhatikan sebagai individu
dan anggota kelompok sosial. Akibatnya, migran sering harus menanggung beban
dan menjadi korban atas proses itu, meskipun mereka juga menikmati hasilnya.
Gejala ini juga diyakini menyebabkan terpisahnya penelitian migrasi dengan
perkembangan teori-teori sosial, padahal migrasi merupakan salah satu gejala
sosial yang sangat tua tidak mungkin terlepas dari perkembangan sosial,
politik, dan ekonomi pada umumnya (lihat Robinson & Carey, 2000).
1.2Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah
ini adalah:
a.Apa pengertian dari migrasi itu
sendiri?
b.Apa saja jenis-jenis migrasi?
c.Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
terjadinya migrasi?
d.Bagaimana pengaruh Urbanisasi
terhadap Pola dan Arus Migrasi di Indonesia?
e.Bagaimana perilaku migrasi penduduk?
f.Apa dampak
migrasi penduduk?
g.Bagaimna usaha-usaha yang di lakukan
oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan migrasi?
1.3Tujuan
Tujuan
yang dapat kita peroleh dari makalah ini adalah :
a.Mengetahui tentang pengertian dari
migrasi itu sendiri
b.Mengetahui jenis-jenis migrasi
c.Mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya migrasi
d.Mengetahui pengaruh Urbanisasi terhadap
Pola dan Arus Migrasi di Indonesia
e.Mengetahui perilaku migrasi penduduk
f.Mengetahui dampak yang terjadi pada
migrasi penduduk
g.Mengetahui usaha-usaha pemerintah
dalam mengatasi permasalahan migrasi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1Pengertian
Migrasi
Migrasi adalah perpindahan
penduduk dari suatu tempat ke tempat lain dengan melewati batas negara atau
batas administrasi dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain
melampaui batas politik/Negara ataupun batas administrasi/batas bagian dalam
suatu Negara (Munir, 2000: 116). Dengan kata lain, migrasi di artikan sebagai
perpindahan yang relative permanen dari suatu daerah (Negara) ke daerah
(Negara) lain. Migrasi sukar diukur karena migrasi dapat didefinisikan dengan
berbagai cara dan merupakan suatu peristiwa yang mungkin berulang beberapa kali
sepanjang hidupnya.
Hampir semua definisi menggunakan
kriteria waktu dan ruang, sehingga perpindahan yang termasuk dalam proses
migrasi setidak-tidaknya dianggap semi permanen dan melintasi batas-batas
geografis tertentu (Young, 1984:94). Untuk Indonesia sendiri, analisis migran
hanya dapat menggunakan data hasil sensus penduduk yang dilakukan 10 tahun
sekali dan data sampel hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS), yang
dilakukan di tengah-tengah antar dua sensus. Oleh karena itu, analisis migrasi
masih sangat kurang dilakukan orang, mengingat data penduduk analisis ini
sangat kurang sekali, kecuali jika program pendataan model registrasi penduduk
telah dilakukan oleh suatu Negara dengan baik.
2.2Jenis-jenis
Migrasi
Migrasi
dapat dibagi atas dua golongan yaitu:
a.Migrasi
Internasional,
adalah perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain. Migrasi ini dapat
dibedakan atas tiga macam yaitu: Imigrasi(masuknya penduduk dari suatu negara
ke negara lain dengan tujuan menetap), Emigrasi (keluarnya penduduk dari suatu
negara ke negara lain), Remigrasi (kembalinya imigran ke negara asalnya).
b.Migrasi
Nasional atau Internal,
yaitu perpindahan penduduk di dalam satu Negara. Migrasi ini terdiri atas
beberapa jenis, yaitu Urbanisasi, Transmigrasi, Ruralisasi. Urbanisasi adalah
perpindahan dari desa ke kota dengan tujuan menetap. Factor yang menyebabkan
terjadinya urbanisasi yaitu Ingin mencari pekerjaan, karena di kota lebih
banyak lapangan kerja dan upahnya tinggi, Ingin mencari pengalaman di kota,
Ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan sebagainya. Transmigrasi
adalah perpindahan penduduk dari pulau yang padat penduduk ke pulau yang jarang
penduduknya di dalam wilayah Indonesia. Ruralisasi adalah perpindahan penduduk
dari kota ke desa dengan tujuan menetap. Ruralisasi merupakan kebalikan dari
urbanisasi.
2.3Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya migrasi
a.Faktor
pendorong (faktor dari
daerah asal) seperti, adanya bencana alam, panen gagal, lapangan kerja
terbatas, keamanan terganggu, kurangnya sarana pendidikan.
b.Faktor
penarik (faktor dari di
daerah tujuan) seperti, tersedianya lapangan kerja, upah tinggi, tersedia
sarana pendidikan kesehatan dan hiburan.
Faktor yang terletak diantara daerah asal
dan daerah tujuan yang disebut penghalang yang termasuk faktor ini misalnya
jarak jenis alat transport dan biaya transport jarak yang tidak jauh dan
mudahnya transportasi mendorog mobilitas penduduk. Yang terdapat pada diri
seseorang disebut faktor individu. Faktor ini sangat mempengaruhi keinginan
seseorang untuk melakukan mobilitas atau tidak. Contoh faktor individu ini
antara lain: umur, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan.
Faktor pendorong dan penarik perpindahan
penduduk ada yang negatif dan ada yang positif. Faktor pendorong yang positif
yaitu para migran ingin mencari atau menambah pengalaman di daerah lain.
Sedangkan faktor pendorong yang negatif yaitu fasilitas untuk memenuhi
kebutuhan hidup terbatas dan lapangan pekerjaan terbatas pada pertanian. Faktor
penarik yang positif yaitu daerah tujuan mempunyai sarana pendidikan yang
memadai dan lebih lengkap. Faktor penarik yang negatif adalah adanya lapangan
pekerjaan yang lebih bervariasi, kehidupan yang lebih mewah, sehingga apa saja
yang diperlukan akan mudah didapat dikota.
2.4Pengaruh Urbanisasi terhadap Pola dan Arus
Migrasi di Indonesia
Berdasarkan data migrasi, sejak tahun 1971
hingga 1990, Jakarta merupakan tujuan proponsi penerima migran paling besar (nomor
satu) di Indonesia. Dengan adanya urbanisasi di wilayah Jakarta ini, banyak
penduduk yang bekerja di Jakarta, namun bertempat tinggal di wilayah sekitar
Jakarta (Botabek), dengan berbagai sebab, karena ingin mendapatkan tempat
tinggal yang lebih luas, lebih baik, dan lebih sedikit polusi untuk keluarga
mereka.
Disamping itu, banyak Industri didirikan
di daerah pinggiran kota Jakarta (Botabek), banyak menarik tenaga kerja secara
khusus dan penduduk secara umum untuk bermigrasi ke daerah Botabek (Jawa Barat)
ini. Menurut Firman (1995), kecenderungan berkembangnya dengan pesat kegiatan
ekonomi di kota-kota besar seperti di DKI Jakarta adalah tidak lain karena ada
“ekonomi urbanisasi” yang terdapat di kota-kota besar, yang secara sederhana
didefinisikan sebagai keuntungan-keuntungan ekonomi dari sebuah kota. Sebagai
gambaran sebagaimana kota-kota besar dapat bersaing dengan berbagai macam
aktivitas ekonomi, yaitu adanya kenyataan bahwa hingga Juli 1995, kira-kira
setengah Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN),
dari koordinasi penanaman modal (BKPM) terkonsentrasi di Jabotabek atau
Jakarta.
2.5Perilaku migrasi penduduk
Perilaku mobilitas
penduduk oleh Ravenstain disebut dengan hukum-hukum migrasi sebagai berikut:
Para migran cenderung memilih tempat terdekat sebagai daerah tujuan. Faktor
paling dominan yang mempengaruhi seseorang untuk bermigran adalah situasinya
memperoleh pekerjaan di daerah asal dan kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan
dan pendapatan yang lebih baik di daerah tujuan. Daerah tujuan mempunyai nilai
kefaedahan wilayah (place utility) lebih tinggi dibanding dengan daerah asal.
Semakin tinggi pengaruh kekotaan terhadap seseorang, semakin besat tingkat
mobilitasnya. Semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi frukuensi
mobilitasnya.
Penduduk yang masih muda
dan belum kawin lebih banyak melakukan migrasi dari pada mereka yang berstatus
kawin. Penduduk yang berpendidikan tinggi biasanya lebih banyak melaksanakan
mobilitas dari pada yang berpendidikan rendah. Kepuasan terhadap kehidupan di
masyarakat baru tergantung pada hubungan sosial para pelaku hubungan sosial
para pelaku mobilitas dengan masyarakat tersebut. Kepuasan terhadap kehidupan
di kota tergantung pada kemampuan perseorangan untuk mendapatkan pekerjaan dan
adanya kesempatan bagi anak-anak untuk berkembang. Setelah menyesuaikan diri
dengan kehidupan kota, para pelaku mobilitas pindah ke tempat tinggal dan
memilih daerah tempat tinggal dipengaruhi oleh daerah tempat bekerja.
2.6Dampak migrasi penduduk
Migrasi
penduduk baik nasional maupun internasional masing-masing memiliki dampak
positif dan negatif terhadap daerah asal maupun daerah tujuan.
a.Dampak
positif dari migrasi yaitu
dapat membantu memenuhi kekurangan tenaga ahli, dapat menambah rasa solidaritas
antarbangsa, adanya pengenalan ilmu dan teknologi dapat mempercepat alih
teknologi.
b.Dampak
negatif dari migrasi yaitu
masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa, imigran yang
masuk adakalanya di antara mereka memiliki tujuan yang kurang baik seperti
pengedar narkoba, bertujuan politik, dan lain-lain.
2.7Usaha-usaha
pemerintah untuk mengatasi permasalahan migrasi
Usaha pemerintah
untuk menanggulangi permasalahan migrasi, adalah sebagai berikut :
1.Persebaran
pembangunan industri sampai ke daerah-daerah.
2.Peningkatan
pendapatan masyarakat desa melalui intensifikasi dan Koperasi Unit Desa.
3.Pembangunan
jaringan jalan sampai ke desa-desa sehingga hubungan antara desa dan kota
menjadi lancar.
4.Meningkatkan
penyuluhan program Keluarga Berencana untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk
di pedesaan.
5.Pembangunan
fasilitas yang lebih lengkap seperti pendidikan dan kesehatan.
BAB III
PENUTUP
3.1Kesimpulan
Kesimpulan
yang dapat kita peroleh adalah bahwa permasalahan migrasi yang terjadi ini
bukan hanya merupakan permasalahan konseptual tetapi juga merupakan
permasalahan pendekatan. Determinan migran yang paling utama adalah factor
ekonomi. Ini teelihat dari pola dan arus migrasi yang terjadi di Indonesia.
Tidak ada satu propinsi pun yang ada di Indonesia yang tidak mengalami
perpindahan penduduk, baik perpindahan masuk, maupun perpindahan keluar.
Fenomena migran ini melahirkan masalah-masalah sosial yang menarik untuk di
kaji dalam pengembangan keilmuan ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi.
Fenomena seperti remiten dan adaptasi migrant di tempat tujuan adalah kajian
yang sudah “keluar” dari outline demografi sehingga membutuhkan masuknya
analisis dari disiplin-disiplin lain termasuk sosiologi.
3.2Saran
Saran saya dalam mengurangi terjadinya
migrasi penduduk ini adalah dengan mengadakan lowongan pekerjaan yang
penghasilannya itu bisa menjamin para migran sehingga mereka tidak bermigrasi
ke daerah/Negara lain, yang belum tentu menjamin kehidupan mereka selanjutnya. Bisa
saja, setelah mereka bermigrasi ke daerah/Negara tertentu, bukannya malah
sejahtera melainkan membuat ekonomi mereka semakin terperosot.Selain itu, di daerah/Negara yang menjadi
tempat tinggal mereka semula, harus ada fasilitas pendidikan maupun maupun fasilitas
lainnya yang memadai sehingga mereka tidak mudah berpindah ke daerah/Negara
tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
·Brodjonegoro,
P.S. Bambang, “Pemulihan Ekonomi, Otonomi Daerah dan Kesempatan Kerja di
Indonesia”, Warta Demografi, Tahun Ke 30,
No. 3, 2000.
·Darmawan, Beny, “Perkiraan Pola Migrasi Antarprovinsi Di
Indonesia Berdasarkan“Indeks Ketertarikan Ekonomi”, Makalah Disampaikan Pada
SeminarPoverty,Population
& Health Di Kampus Ui Depok, 13 Desember 2007.
·Faturochman,
“Why People Move: A Psychological Analysis of Urban Migration”, Populasi 1 (3),
1992.
·Fawcett,
James T., “Migration Psychology: New Behavioral Model”, Population and
Environment 8 (1), 1986.
·Firman, Tommy. “Migrasi Antar Provinsi dan Pembangunan
Wilayah di Indonesia”. Prisma
No.7 Th. XXIII, 1994.
·Janis,
Irving L. and Leon Mann, Decision Making: a Psychological Analysis of
Conflict,Choice and Commitment, New York: Free Press, 1977.
·Kahar,
Suleman Hi. Abdul, Migrasi Keluar dari Sulawesi Selatan Analisis Data
SUPAS1995, Jakarta: Program Pascasarjana Program Studi Kependudukan dan
Ketenagakerjaan, Universitas Indonesia, 2001
Seorang pasien menjalani suatu
pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana layaknya, sebelum pembedahan
dilakukan anastesi terlebi dahulu. Pembiusan dilakukan oleh dokter anastesi,
sedangkan operasi dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (orthopedy).
Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan
bernafas. Bahkan setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami
gangguan pernapasan hingga tak sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus
menerus di perawatan intensif dengan bantuan mesin pernapasan (ventilator).
Tentu kejadian ini sangat mengherankan. Pasalnya, sebelum dilakukan operasi,
pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah tulangnnya.
Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas
anastesi (N2O) yang dipasang pada mesin anastesi. Harusnya gas N2O, ternyata
yang diberikan gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian
CO2 pada pasien tentu mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga
proses oksigenasi menjadi sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan
akhirnya meninggal. Ini sebuah fakta penyimpangan sederhana namun berakibat
fatal.
Dengan kata lain ada sebuah kegagalan dalam proses penetapan
gas anastesi. Dan ternyata, di rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar
pengamanan pemakaian gas yang dipasang di mesin anastesi. Padahal seharusnya
ada standar, siapa yang harus memasang, bagaimana caranya, bagaimana monitoringnya,
dan lain sebagainya. Idealnya dan sudah menjadi keharusan bahwa perlu ada
sebuah standar yang tertulis (misalnya warna tabung gas yang berbeda), jelas,
dengan formulir yang memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan
ditandatangani. Seandainya prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil
kemungkinan terjadi kekeliruan. Dan kalaupun terjadi akan cepat diketahui siapa
yang bertanggung jawab.
Tinjauan Kasus
Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum
a.Tinjauan Malpraktik Pidana dan
Sanksi Hukumnya
Kasus tersebut merupakan bentuk malpraktik pidana
sebab telah melanggar beberapa aturan dalam KUHP untuk kelalaian yang berlaku
bagi setiap orang, yang diatur dalam Pasal 359, 360, dan 361 KUHP
Dalam Kitab-Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya
nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.
Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan
terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
(1) ‘Barang siapa karena kealpaannya
menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun’.
(2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain
luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau
denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
Pemberatan sanksi pidana juga dapat
diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal
361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), “Jika kejahatan yang diterangkan
dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka
pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat
memerintahkan supaya putusannya diumumkan.” Namun, apabila kelalaian dokter
tersebut terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya
keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak
menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat dilakukan.
Jika perbuatan malpraktik yang
dilakukan dokter terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan (dolus) dan
ataupun kelalaian (culpa) seperti dalam kasus malpraktek dalam bidang orthopedy
tersebut, maka adalah hal yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan
dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah
melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang.
Perbuatan tersebut telah nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu
profesi yang mulia.
Pekerjaan
profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus sangat berhati-hati
untuk mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan tugas-tugasnya karena
sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tuduhan malpraktik bukan hanya
ditujukan terhadap tindakan kesengajaan (dolus) saja.Tetapi juga akibat
kelalaian (culpa) dalam menggunakan keahlian, sehingga mengakibatkan kerugian,
mencelakakan, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Selanjutnya, jika
kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik yang tidak memenuhi
SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi
pidana.
b.Tinjauan Malpraktik Perdata dan
sanksi Hukumnya
Kasus di
atas juga dapat dikategorikan sebagai malpraktik perdata ketika
Seorang dokter orthopedy yang telah terbukti melakukan kelalaian sehingga
pasiennya menderita luka atau mati. Tindakan malpraktik tersebut juga dapat berimplikasi pada
gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja
(dolus) telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan
pihak yang menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami
kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Seorang
dokter yang telah terbukti melakukan kelalaian sehingga pasiennya menderita
luka atau mati, dapat digugat secara perdata berdasarkan Pasal 1366 atau 1370
KUH Perdata
Pasal 1366 KUH Perdata
Kerugian
yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi: “Setiap
orang bertanggung jawab tidak saja atas kerugian yang disebabkan karena perbuatannya,
tetapi juga atas kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang
hati-hatinya.”
Pasal 1370 KUH Perdata
Dalam hal pembunuhan (menyebabkan
matinya orang lain) dengan sengaja atau kurang hati-hati seseorang, maka suami
dan istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua yang biasanya mendapat nafkah
dari pekerjaan korban, mempunyai hak untuk menuntut suatu ganti rugi, yang
harus dinilai menurut kedudukannya dan kekayaan kedua belah pihak serta menurut
keadaan.
Undang-undang No. 23
Tahun 1992 tentang Kesehatan :
Menurut Pasal Undang-undang
tersebut diatas :
Ayat (1)
Setiap orang berhak atas ganti rugi
akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan
Ayat (2)
Ganti rugi yang sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku
Penjelasan
Ayat (1)
Pemberian hak atas ganti rugi
merupakan suatu upaya untuk memberi perlindungan bagi setiap orang atas suatu
akibat yang timbul, baik fisik maupun nonfisik karena kesalahan atau kelalaian
tenaga kesehatan. Perlindungan ini sangat penting karena akibat kesalahan atau
kelalaian itu mungkin dapat menyebabkan kematian atau menimbulkan cacat dan
permanen
Yang dimaksud dengan kerugian fisik
adalah hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh,
sedangkan kerugian nonfisik berkaitan dengan martabat seseorang
Ayat (2)
Cukup jelas
c.Tinjauan
Malpraktik Etik dan Sanksinya
Etika
punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang
berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian
formal tentang moralitas. Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan
moral adalah sitem tentang motifasi, perilaku dan perbuatan manusia yang
dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang
mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat
fundamental: bagaimana saya harus hidup dan bertindak?. Bagi seorang sosiolog,
etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu.
Bagi praktisi professional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya, etika
berarti kewajiban dan tanggungjawab memenuhi harapan profesi dan masyarakat,
serta bertindak dengan cara-cara yang professional, etika adalah salah satu
kaidah yang menjaga terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima jasa
profesi secara wajar, jujur, adil, professional dan terhormat.
Selain
melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, ditinjau dari Sudut Pandang
Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI), tindakan tersebut juga dapat
menjadi bentuk malpraktik etik karena dokter tersebut tidak melaksanakan
profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi.
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “ seorang dokter
harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi
tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan
kedokterannya seebagai seorang proesional harus sesuai dengan ilmu kedokteran
mutakhir, hukum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap
dokter hrus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya
dalam setiap tindakan dokter harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan
kebahagiaan manusia.
Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI)
sangatlah perlu ditingkatkan untuk menghindari terjadinya
pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering terjadi yang dilakukan oleh setiap
kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat/pengacara, notaris,
akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk
memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik.
Dalam hal ini Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti
melanggar kode etik maka dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi
sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Karena itu
seperti kasus yang ditampilkan maka juga harus dikenakan sanksi sebagaimana
yang diatur dalam kode etik.
Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar
pelanggaran kode etik tetapi juga dapat dikategorikan malpraktik maka MKEK
tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk memeriksa dan memutus kasus
tersebut. Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum
hanyalah lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan. Jika ternyata
terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan
pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata. Sudah saatnya pihak
berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan
malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi
masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan
keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para
dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya.
2.Contoh
Kasus
Kasus Prita VS RS OMNI International
Jakarta – Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia
lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat
berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international
karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba
pasien, penjualan obat, dan suntikan.
Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya
mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus
2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang
ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard
International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang
bagus.
Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39
derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit
saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan
ditangani oleh dr Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I
melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya
dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.
dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya
meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu
referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan
saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.
Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau
izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr
H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan
27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H
terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam
suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.
Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama
dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir
karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih
berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya
percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.
Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap
suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya
meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan
suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu
boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.
Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan
suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya
dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39
derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa.
Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.
Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk
memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya
sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan
berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam
berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan
kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.
Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang
sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun
hanya berkata menunggu dr H saja.
Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya
pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa
untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.
Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun,
janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya
menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang
27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup
saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher
kiri dan mata kiri.
dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah
mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan
menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan
meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang
seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak
bisa memberikan keterangan yang memuaskan.
Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai
membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau
dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data
medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis
yang fiktif.
Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya
lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada
follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil
thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.
Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat
dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak
adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan
marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut
ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen
yang memegang hasil lab tersebut.
Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh
Og(Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda
terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar
dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya
sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda
terima pengajuan komplain tertulis.
Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen. Atas
nama Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan
diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan
saya.
Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan
dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000.
Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit
181.000 saya masih bisa rawat jalan.
Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya
ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia
mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan
ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak
bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji
akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.
Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya
dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut analisa
ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena
sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan
perempuan ke pankreas dan kista.
Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah
membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan
suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya
tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak
kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.
Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000
tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta
diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya
tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari
Omni memberikan surat tersebut.
Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan
keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4
sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali
saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima
atas nama Rukiah.
Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya
tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari
datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam tanda
terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut
Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang
mempermainkan nyawa orang.
Terutama dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan
customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini cantum.
Saya bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut
dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan
pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami.
Pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami
dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan
dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi
kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.
Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya
ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja
supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.
Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah
hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat
inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak
makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.
Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan
asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal
mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.
Sdr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr
B). Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan
kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.
Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang
selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas
dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup
untuk menyembuhkan.
Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya
masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS
yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.
Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni
supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua
yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak
terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.
Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan
atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr M, dan
Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan
Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan
RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.
Melihat kasus tersebut, dapat ditemukan sebuah contoh malpraktik
administrasi berupa pelanggaran dalam rekam medis. Dalam PERMENKES No. 749a/Menkes/XII/89 tentang RM disebutkan pengertian
RM adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien,
pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada
sarana pelayanan kesehatan.
Pasal 14 Permenkes no. 749a/1989 tentang tujuan dan fungsi rekam medis
yaitu sebagai dasar pelayanan kesehatan dan pengobatan, pembuktian hukum,
penelitian dan pendidikan, dasar pembiayaan pelayanan kesehatan, dan statistic
kesehatan. Maka rekam medis harus dibuat relevan, kronologis dan orisinil. Data
yang diberikan haruslah berupa data yang sebenarnya dan bukan karangan semata.
Dalam kasus di atas telah terjadi pemalsuan data tentang kondisi pasien sesuai
dengan pengakuan dari pasien atau si penderita yang menyebutkan bahwa “Dalam
catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar
padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow
up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya
yang 181.000 bukan 27.000.” hal ini dinilai telah melanggar hukum adminitrasi,
karena data yang dilaporkan dalam rekam medis pasien adalah fiktif dan tidak
sesuai dengan kenyataannya, bersamaan dengan itu juga tenaga perawatan dinilai
telah lalai dari kewajibannya dalam menyediakan rekam medis pasien.